Jual Beli Lahan dan Nasib Masyarakat di Area Tambang Halmahera Tengah

LAHAN: Sebagian besar lahan di Desa Sagea telah dikuasai perusahaan tambang. Sepanjang jalan menuju kawasan wisata Sungai Sagea ini dulunya milik warga, kini telah dilepas ke perusahaan tambang.

Proses jual beli lahan di sekitar PSN Weda terutama di desa-desa ring 1 seperti Lelilef Sawai, Lelilef Woebulen dan Gemaf tanpa bersandar pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Tak ada harga yang jelas. Pembayaran tanah dilakukan hanya bersandar pada Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dikeluarkan pemerintah desa. Nah di sanalah terjadi permainan. Karena luasan lahan warga kadang diperkecil berdasarkan hasil pengukuran yang hanya dilakukan oleh pihak perusahaan dan pemerintah desa. Rata-rata warga hanya menjual tanahnya seharga 8 hingga 9 ribu per meter. Harga ini ditetapkan oleh pemerintah daerah.

Mantan Bupati Halmahera Tengah (2017-2022), Edy Langkara, saat itu menerbitkan SK yang menetapkan nilai tanah sebesar Rp9. 000 per meter. Edy juga berinisiatif memediasi masyarakat dan perusahaan, yang menghasilkan pembayaran tali asih hanya Rp 2. 500 per meter jika lahan warga tak punya sertifikat.

Harga penjualan tanah sesuai SK bupati ini sangat kecil, bila merujuk ke NJOP yang ditetapkan Pemkab Halmahera Tengah di desa lain seperti di Nusliko yang nilainya mencapai Rp32 ribu/ meter.

Kepala Bagian Tata Pemerintahan dan Perbatasan Setda Kabupaten  Halmahera Tengah, Sofyan Abdul Gafur, seperti dirilis media  pada Maret 2020 menyebutkan, NJOP di Nusliko sebesar Rp 32 ribu.

“Kita punya NJOP  Rp32 ribu per meter,” katanya  saat merespon persoalan lahan proyek pembangunan jalan lingkar di Desa  Nusliko waktu itu.

Mestinya saat ini di saat lahan warga dibeli oleh tambang harusnya dijual dengan NJOP tersebut. Bukan sebesar 9 ribu berdasarkan SK bupati.

Hernemus Takuling, salah satu warga yang masih mempertahankan tanahnya mengaku pernah didatangi perusahaan dan menawarkan harga tanahnya 8 ribu per meter. Tawaran itu dia tolak. Dia hanya mau melepas tanahnya jika perusahaan berani membayar 7 miliar.

"Saya lebih memilih hidup sebagai petani dari pada bekerja di tambang. Banyak warga di sini tergiur menjual lahan karena iming-iming uang dari perusahaan. Dulu, perusahaan menawarkan harga Rp8 000 per meter untuk lahan saya, namun saya tolak dan meminta mereka membayar Rp7 miliar. Akhirnya, mereka mundur," kisahnya.

Sekarang, lahan seluas 8 hektare miliknya itu menjadi satu-satunya kebun yang masih ada di sekitar Desa Lelilef Sawai.

“Penetapan harganya dilakukan sepihak bahkan ada yang menawar hingga 6 ribu per meter,” ujarnya.

Perjuangan mempertahankan tanah ini, bahkan membuat dirinya dikriminalisasi hingga dipenjara satu tahun dengan tuduhan membawa senjata tajam saat memblokade jalan menuju PT Weda Bay Nickel (WBN) pada 2013 lalu.

"Saya  blokir jalan menuju perusahaan kala itu karena belum ada pembayaran atas pelepasan lahan. Aksi itu kami lakukan bersama 66 keluarga di desa Lelilef. Masalah lahan itu berlarut-larut sejak 2009 hingga 2013,” katanya.

Untuk lahan warga yang berada di kawasan hutan dan tak punya sertifikat, oleh pihak perusahaan enggan memberikan ganti rugi. Karena dianggap berada di area hutan produksi, mereka hanya menerima tali asih sebesar Rp 2. 500/meter.

Baca halaman selanjutnya ...

Selanjutnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Komentar

Loading...