Jual Beli Lahan dan Nasib Masyarakat di Area Tambang Halmahera Tengah

LAHAN: Sebagian besar lahan di Desa Sagea telah dikuasai perusahaan tambang. Sepanjang jalan menuju kawasan wisata Sungai Sagea ini dulunya milik warga, kini telah dilepas ke perusahaan tambang.

Regulasi  Tak Jamin  Ruang Hidup Masyarakat  Aman

Problem  ruang hidup dan tanah di  lingkar PSN sempat diteliti beberapa lembaga salah satunya Transparansi Internasional (TII).  Riset berjudul  "Laporan Industri Keruk Nikel: Korupsi Struktural dan Dampak Multi Dimensinya–Studi Kasus di Halmahera Timur dan Tengah 2024 itu tim peneliti mengungkapkan bahwa,  perusahaan yang telah mendapat izin beroperasi di "tanah negara" tidak ada hubungan langsung dengan hak masyarakat sekitarnya. Karena itu meskipun ada lahan dan kebun milik masyarakat di atas wilayah konsesi itu, tanah diwariskan turun- temurun lebih dari 20 tahun sekalipun tetap tidak diakui sebagai hak milik pribadi.

Penelitian dari Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas  Khairun Ternate dipimpin Rusdin Alauddin dan rekan-rekan pada 2016, yang meneliti sengketa lahan akibat kegiatan pertambangan nikel di Maluku Utara, menunjukkan  konflik lahan dengan pelaku usaha pertambangan sulit dihindari bahkan cenderung meningkat karena berbagai faktor.

Dalam hal regulasi misalnya dari tingkat nasional hingga lokal tidak menjamin penyelesaian masalah lahan secara efektif. Masyarakat sering kali jadi korban ketidakadilan yang muncul dari produk hukum yang dihasilkan.

Keberpihakan pemerintah terhadap pelaku usaha juga  makin memperburuk posisi masyarakat, menjauhkannya dari keadilan yang  seharusnya mereka terima. Perasaan ketidakadilan itu membuat warga apatis ketika membahas kesejahteraan dan kemakmuran yang seharusnya dihasilkan dari perusahaan di daerah mereka.

Kurangnya perhatian dari pelaku usaha dan pemerintah  juga berdampak pada penolakan masyarakat, yang terkadang berujung tindakan anarkis, merugikan tidak hanya warga, tetapi juga perusahaan dan pemerintah.

Ada beberapa  penyebab konflik lahan  antara pelaku usaha dan masyarakat. Studi itu menunjukkan besaran ganti rugi lahan merupakan permasalahan utama. Ada 49% responden merasa dirugikan karena kompensasi tidak sesuai harapan.  20,67% responden mencatat adanya tumpang tindih kepemilikan lahan menjadi penyebab konflik. Beberapa pihak mengklaim hak atas sebidang tanah yang sama.

Permasalahan ganti rugi tanaman juga menjadi titik persoalan. 10% responden melaporkan keberadaan perusahaan tambang menimbulkan konflik, terutama karena banyak tanaman warga belum mendapatkan ganti rugi yang layak. Permasalahan ini umumnya terjadi di kawasan pertambangan PT. WBN/IWIP di Kabupaten Halmahera Tengah.

Selain itu sengketa batas wilayah dan kurangnya komunikasi juga masalah yang signifikan. Tidak hanya terjadi antara Kabupaten Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, tetapi juga antar desa.

Terakhir, tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) juga teridentifikasi,  belum dijalankan   dengan baik dan benar.

Riset ini merekomendasikan agar pemerintah daerah meninjau  regulasi di bidang pertanahan, khususnya penentuan besaran ganti rugi lahan untuk masyarakat.

Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan kepentingan masyarakat lokal, terutama yang tinggal di sekitar lokasi tambang. Perlu dilakukan sebelum izin diberikan kepada pelaku usaha pertambangan.

Reportase ini merupakan hasil liputan kolaborasi yang dilakukan sejumlah media. Yakni Halmaherapedia.id  (Mahmud Ichi), Haliora.Id (Sahrul S Jabidi), Malut Post (Fadli Kayoa dan  Suryani S Tawari), RRI (Mario Panggabean), serta Independen.id sebagai bagian dari program Mengawasi Proyek Strategis Nasional (PSN)  yang didukung AJI Indonesia dan Kurawal Foundation.

Selanjutnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Komentar

Loading...