Oleh: M. Said Marsaoly
(Pegiat di Salawaku Institute)
Pembangunan Jetty ilegal oleh PT Sembaki Tambang Sentosa (STS) di pesisir Kecamatan Maba, Halmahera Timur, menyingkap borok lama dalam demokrasi lingkungan kita: negara kerap absen saat hukum harus ditegakkan.
Sekalipun berbagai pelanggaran telah terang-benderang terjadi, tak satu pun aparat penegak hukum bertindak tegas. Ironisnya, unjuk rasa warga yang menuntut keadilan justru dibalas dengan gas air mata.
Pada 30 April lalu, pertemuan antara warga, Pemerintah Provinsi Maluku Utara, dan Pemerintah Daerah Halmahera Timur tampak lebih sebagai upaya meredam amarah ketimbang menyelesaikan persoalan substansial.
Kesepakatan yang lahir tidak menyentuh akar masalah: pelanggaran hukum lingkungan oleh PT STS yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Ada tiga pelanggaran mendasar yang mencolok. Pertama, PT STS membangun jetty dan area stockpile tanpa dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), bahkan tanpa Izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang sah.
Kedua, aktivitas mobilisasi alat berat dilakukan di kawasan sempadan pantai yang masuk dalam zona keselamatan Bandara Buli dan di luar wilayah IUP mereka. Ketiga, perusahaan baru mengajukan dokumen Andalalin pada 2023, meski sudah lama beroperasi.
Namun hingga hari ini, tidak ada tindakan hukum. Penegak hukum seperti membisu. Masyarakat yang bersuara distigma perusuh dan menghalangi investasi. Ini tak hanya kegagalan administratif, tetapi pembiaran sistematis.
Celakanya, pengabaian hukum semacam ini seperti bagian dari watak struktural dalam demokrasi kita: ketika kepentingan ekonomi yang ditopang modal kuat berkelindan dengan politik lokal.
Baca Halaman Selanjutnya..
Ada relasi tak kasatmata antara perusahaan dan para pemangku kuasa yang tak pernah tuntas diatur dalam sistem tata negara kita.
Perkawinan kepentingan ini melahirkan apa yang disebut “zona impunitas”, ruang aman bagi pelanggar hukum yang memiliki akses ke kekuasaan.
Masyarakat dibiarkan bertarung sendiri di ruang demokrasi yang timpang. Di satu sisi, diminta percaya pada hukum, di sisi lain menyaksikan hukum dipermainkan.
Dalam situasi seperti ini, demokrasi tak lebih dari ritual prosedural. Penegakan hukum kehilangan martabatnya. Negara kehilangan legitimasi ekologis karena gagal hadir melindungi ruang hidup rakyat.
Karena itu, publik perlu terus mendorong desentralisasi pengawasan dan transparansi pengambilan keputusan. Mekanisme partisipatif dalam pengelolaan sumber daya alam harus diperkuat.
Kita tak bisa lagi berharap pada mekanisme top-down yang selama ini menjadi ruang kompromi elit dengan pemilik modal.
Kasus PT STS adalah potret buram peradaban hukum kita. Ia mencerminkan tak hanya pelanggaran regulasi, tetapi krisis etik dalam pengelolaan lingkungan hidup dan demokrasi lokal.
Jika negara terus abai, maka rakyat hanya punya satu pilihan: mempertahankan ruang hidupnya dengan cara apa pun. (*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Selasa, 6 Mei 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/05/selasa-6-mei-2025.html