Kartini di Tengah Deru Mesin: Suara Perempuan dari Tanah yang Terluka

Keduanya dilihat sebagai “sumber daya” yang bisa dieksploitasi tanpa batas. Kapitalisme ekstraktif bekerja dengan logika penguasaan atas keduanya: memanfaatkan tubuh dan tanah tanpa mempertimbangkan regenerasi atau keseimbangan.

Maka, melawan kerusakan lingkungan juga berarti melawan sistem patriarki yang menopang ekspansi industri tersebut. Namun ekofeminisme yang kita butuhkan bukan versi lembut dan romantik tentang “perempuan sebagai penjaga bumi”.

Kita memerlukan ekofeminisme yang radikal yang membongkar struktur politik dan ekonomi yang menjadikan perempuan dan alam sebagai objek penaklukan.

Kita harus menggugat mengapa dalam setiap proyek tambang, perempuan tidak duduk di ruang negosiasi; mengapa tubuh mereka tidak dihitung dalam kerugian ekologis; dan mengapa pengalaman mereka tidak masuk dalam narasi pembangunan nasional.

Bahkan dalam konteks global, suara perempuan dari wilayah-wilayah pinggiran seperti Maluku Utara masih jarang didengar. Padahal, nikel dari Halmahera digunakan untuk baterai kendaraan listrik yang dijual di Eropa dan Amerika.

Sementara itu, perempuan di sekitar tambang harus hidup dengan air kotor, debu nikel, dan ketidakpastian. Ini adalah bentuk ketimpangan global yang brutal. Ekologi lokal dikorbankan demi transisi energi global, dan perempuan adalah pihak yang paling menanggung bebannya.

Kita harus mulai bertanya secara kritis: transisi energi untuk siapa? Untuk masa depan hijau siapa? Apakah perempuan di Halmahera akan memiliki kendaraan listrik? Ataukah mereka hanya akan terus mengorbankan sungai dan tubuh mereka demi “kemajuan” yang tidak pernah mereka nikmati?

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Komentar

Loading...