Kartini di Tengah Deru Mesin: Suara Perempuan dari Tanah yang Terluka

Dan kita semua punya tugas: untuk mendengar, mencatat, dan bergerak bersama mereka. Karena masa depan Maluku Utara tidak bisa dibangun di atas luka perempuan.

Namun persoalan perempuan dan industrialisasi di Maluku Utara bukan hanya soal dampak langsung terhadap tubuh dan ruang hidup.

Ia juga menyangkut represi epistemik dimana pengetahuan lokal, pengalaman perempuan, dan cara hidup komunitas adat dianggap tidak sah atau tidak relevan dalam logika pembangunan nasional.

Ini yang disebut oleh Gayatri Spivak sebagai "cannot speak" dalam artikulasinya mengenai subaltern: perempuan, terutama yang berasal dari desa atau komunitas adat, kehilangan hak untuk menyatakan diri dalam bahasa kekuasaan yang dominan.

Ketika perempuan desa berbicara tentang rusaknya sungai atau hilangnya sasi, suara mereka dianggap tidak ilmiah. Padahal, itu adalah pengetahuan yang diwariskan turun-temurun dan terbukti mampu menjaga keseimbangan ekologis.

Dalam konteks ini, suara perempuan bukan hanya soal perasaan atau emosi, tapi juga soal politik pengetahuan. Ketika negara dan korporasi mengandalkan kajian teknokratik untuk membenarkan ekspansi industri, mereka secara sistemik mengecilkan pentingnya pengalaman hidup perempuan.

Maka yang terjadi bukan hanya pemiskinan material, tetapi juga pemiskinan kognitif dimana perempuan tidak lagi diakui sebagai pemilik pengetahuan atas tanahnya sendiri. Ini adalah bentuk kekerasan struktural yang paling halus dan paling sering diabaikan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Komentar

Loading...