Kartini di Tengah Deru Mesin: Suara Perempuan dari Tanah yang Terluka

Media lokal harus menampilkan wajah-wajah perempuan desa yang berjuang, bukan sekadar mempercantik halaman Hari Kartini dengan kutipan klise.
Dalam konteks teori kritis, pembangunan hanya akan menjadi adil jika ia menyentuh aspek relasional dan struktural dari ketimpangan.
Artinya, pembangunan tidak boleh hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi atau jumlah pabrik, tetapi dari seberapa besar ruang yang diberikan kepada perempuan untuk bicara dan menentukan arah.
Jika suara perempuan masih dianggap “lirih,” maka itu adalah kegagalan kita bersama sebagai bangsa, sebagai warga, dan sebagai pemangku kepentingan.
Kartini mengajarkan bahwa emansipasi bukan soal menjadi seperti laki-laki, tetapi menjadi manusia seutuhnya. Perempuan di Maluku Utara berhak menjadi subjek pembangunan, bukan hanya objek program CSR.
Mereka berhak atas tanah, air, pendidikan, dan masa depan yang lebih baik. Mereka berhak untuk tidak hanya bertahan hidup, tetapi hidup dengan martabat.
Kini, di tengah deru mesin dan suara alat berat, suara-suara perempuan itu masih terdengar, meski lirih. Mereka berbicara tentang luka, tentang harapan, dan tentang keberanian.
Mereka adalah penjaga Ibu Bumi, yang tahu bahwa tanah tidak bisa terus dipaksa tanpa batas. Mereka adalah penulis sejarah baru, yang tahu bahwa suara mereka tidak bisa terus dibungkam. Mereka adalah Kartini hari ini yang tidak sekadar merayakan, tapi menuntut keadilan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar