Kartini di Tengah Deru Mesin: Suara Perempuan dari Tanah yang Terluka

Perempuan-perempuan di Halmahera dan Pulau Obi mulai membentuk komunitas belajar dan kelompok diskusi. Mereka mempelajari hak-hak dasar warga, memahami dokumen AMDAL, dan mulai bicara di forum-forum publik.
Di beberapa desa, perempuan memimpin protes terhadap pencemaran sungai dan penambangan ilegal. Mereka tidak hanya menuntut hak atas tanah dan air, tetapi juga hak untuk menentukan masa depan mereka sendiri.
Gerakan perempuan ini seringkali tidak spektakuler. Mereka tidak turun ke jalan besar dengan spanduk dan megafon.
Mereka bekerja dalam senyap mengajari anak-anak tentang bahasa ibu, menanam sayur di tanah yang masih bisa diselamatkan, dan menyimpan benih sebagai bentuk harapan.
Mereka adalah Kartini masa kini, yang tidak menulis dalam bahasa Belanda, tetapi dalam dialek lokal dan tindakan sehari-hari. Mereka menolak tunduk pada sistem yang mengeksploitasi bumi dan tubuh mereka.
Penting bagi negara dan masyarakat sipil untuk mendengar suara-suara ini. Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan perempuan menjadi “bayangan” dalam narasi pembangunan.
Pemerintah daerah harus mengintegrasikan perspektif gender dalam perencanaan pembangunan, termasuk dalam penyusunan RTRW, RPJMD, dan pengawasan industri.
Lembaga pendidikan harus membuka ruang kritis bagi kajian ekofeminisme, agar generasi muda paham bahwa isu lingkungan dan perempuan saling terkait.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar