Kartini di Tengah Deru Mesin: Suara Perempuan dari Tanah yang Terluka

Mereka adalah penjaga ekosistem budaya dan pangan lokal. Namun industrialisasi datang dengan janji kesejahteraan yang abstrak. Lahan-lahan digusur, kebun ditebang, dan tradisi perlahan hilang.

Perempuan disingkirkan dari tanahnya, dan suara mereka tak pernah ditanya apakah pabrik itu layak ada atau tidak.
Pendekatan teori kritis menegaskan bahwa pembangunan tidak pernah netral.

Ia sarat kepentingan, dan seringkali bekerja dengan membungkam kelompok yang dianggap lemah termasuk perempuan.

Dalam lanskap ekonomi ekstraktif, perempuan adalah subjek yang dipinggirkan dua kali: sebagai warga yang tak punya kuasa atas sumber daya, dan sebagai perempuan yang tak dianggap sebagai agen perubahan.

Mereka menjadi “korban diam” tidak hanya dalam laporan CSR yang maskulin, tetapi juga dalam narasi pembangunan yang disusun di ruang rapat jauh dari desa.

Apa yang terjadi di Maluku Utara hari ini adalah cerminan dari krisis demokrasi partisipatif. Dalam proses penyusunan AMDAL, perempuan hampir tidak dilibatkan.

Padahal, mereka adalah pihak yang paling terdampak. Ketika sumber air rusak, perempuanlah yang harus mencari air baru. Ketika pangan lokal lenyap, perempuanlah yang harus memutar otak untuk mengganti bahan makanan.

Ketika terjadi konflik lahan, perempuanlah yang menjaga rumah, anak-anak, dan stabilitas komunitas. Namun suara mereka hilang, dibungkam oleh prosedur birokratis yang tidak peka gender dan budaya.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Komentar

Loading...