Prof. Janib Achmad Dikukuhkan sebagai Guru Besar Unkhair, Soroti Dampak Perubahan Iklim di Maluku Utara

“Penggunaan karbon oleh industri harus diminimalkan. Kita perlu kebijakan yang tidak hanya menjaga lingkungan, tetapi juga menjamin keberlanjutan jangka panjang,” tegas Prof. Janib.
Ia menambahkan, etika ekologi bukan sekadar konservasi alam, tetapi mencakup keseimbangan antara kelestarian lingkungan dan keberlangsungan hidup manusia. Pandangan ini penting sebagai fondasi dalam menyusun kebijakan pembangunan dan lingkungan masa depan.
Lebih lanjut, Prof. Janib mengutip data WHO yang memperkirakan bahwa antara tahun 2030 hingga 2050, sekitar 250 ribu kematian setiap tahun akan disebabkan oleh penyakit akibat perubahan iklim. Suhu ekstrem menyebabkan pola cuaca tidak menentu, mempercepat pertumbuhan patogen, dan meningkatkan risiko wabah di wilayah yang sebelumnya tidak terdampak.
“Dulu bakteri butuh waktu 25 hari untuk berkembang, kini hanya 17 hari. Artinya, potensi wabah bisa muncul lebih cepat,” katanya.
Ia juga mengutip studi internasional pada 2017 yang melibatkan lebih dari 1.500 ilmuwan dan dirangkum oleh organisasi R.I.P.E.L. Studi itu menyebutkan bahwa kenaikan suhu bumi utamanya disebabkan oleh peningkatan emisi karbon dioksida, salah satunya akibat menurunnya tutupan hutan tropis.
Penurunan hutan ini juga berdampak pada pelepasan karbon biru dari ekosistem pesisir seperti mangrove dan rawa. Ketika ekosistem ini rusak, karbon yang selama ini tersimpan akan dilepaskan ke atmosfer, memperparah efek rumah kaca dan mempercepat pemanasan global.
“Wabah dan pandemi kini tak hanya menjadi persoalan medis, tapi juga sangat terkait dengan krisis lingkungan yang memburuk,” pungkasnya.
Prof. Janib menegaskan bahwa aksi cepat dalam pengurangan emisi dan pelestarian ekosistem sangat penting sebagai langkah strategis mencegah krisis kesehatan di masa depan. (nar)
Komentar