Hasrul Buamona Sebut Kejari Kepulauan Sula Keliru Tangani Kasus BTT

Dr. Hasrul Buamona.(Foto: istimewa)

Sanana, malutpost.com -- Advokat dan Pakar Hukum Kesehatan Universitas Widya Mataram Yogyakarta, Dr. Hasrul Buamona soroti kasus dugaan korupsi dana Biaya Tidak Terduga (BTT) Rp28 miliar tahun 2021 di Kabupaten Kepulauan Sula Maluku Utara.

Ia mengatakan, Kejaksaan Negeri (Kejari) Kepulauan Sula seharusnya sudah tidak sulit lagi menetapkan siapa tersangka baru dalam kasus tersebut. Sebab, sudah cukup alat dan barang bukti untuk bisa mengetahui siap-siapa saja tersangka selain Muhammad Bimbi.

"Kalau menurut saya, dalam aspek hukum itu Kejari Kepulauan Sula tidak sulit lagi untuk menemukan siapa tersangka baru. Karena dalam pengembangan perkara sekiranya sudah cukuplah barang bukti dan alat bukti untuk bisa mengetahui siapa yang tersangka selain Muhammad Bimbi," katanya, Senin (24/3/2025).

Dia menyebut, pada prinsipnya hasil audit kerugian negara pada kasus BTT ini sudah ada. Tetapi yang perlu dicatat bahwa Kejari Kepuluan Sula keliru jika hasil audit kerugian negara itu berdasarkan BPKP. Hal ini karena konteks pembuktiannya di persidangan itu sangat lemah, karena akan merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2016.

"Di putusan MK tahun 2016 itu dia mengharuskan bahwa kerugian negara yang awalnya bersifat potensial (Loss) akan menjadi Actual Loss, jadi sifatnya harus nyata. Lalu kemudian menurut surat edaran Mahkamah Agung itu kan yang nanti dipakai sebagai dasar pembuktian hakim dipersidangan untuk hasil mana yang mau dipakai itu adalah hasil audit BPK RI, karena semua ini akan merujuk pada Pasal 23 ayat (1) Undang-undang dasar 1945," ujarnya.

Selain itu juga akan merujuk pada ajaran hukum pidana Positif Radcliffe yang mengharuskan bahwa konteks atau audit itu harus didasarkan pada kelembagaan yang diatur oleh Undang-Undang yang lebih tinggi.

"Jadi BPKP itu itu hasil auditnya tidak bisa digunakan dalam konteks pembuktian persidangan karena BPKP itu diatur dalam peraturan presiden, sedangkan BPK itu diatur dalam Undang-Undang Dasar. Dalam konteks hirarki, perundang-undangan itu tentu yang diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 itu lebih tinggi, yakni BPK RI, itu sih sebenarnya," ujarnya.

"Untuk itu, jika kasus BTT ini lebih terang dan kekuatan pembuktian, maka audit yang dipakai adalah audit dari dari BPK RI," pungkasnya.(ham)

Komentar

Loading...

You cannot copy content of this page