Mimpi Tertinggal di Balik Gemerlap Nikel Malut

Restorasi Maritim di Pulau Terpencil

Menurut Faizal Ratuela Executive Director Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Maluku Utara, konsekuensi langsung dari kerusakan ekosistem struktural di wilayah hulu.

Dalam kurun 5 tahun terakhir, kawasan hutan primer seluas 188.000 hektar di Halmahera Tengah kehilangan 26.100 hektar tutupan vegetasinya.(WALHI,2024).

Fakta ini semakin mengerucut ketika menelisik kepadatan izin tambang di wilayah tersebut: 24 Izin Usaha Pertambangan (IUP) menguasai 37.952,74 hektar lahan, belum termasuk konsesi PT Weda Bay Nikel di Kawasan Industri Weda Bay (IWIP) yang mencapai 45.065 hektar (WALHI,2024).

Aktivitas ekstraksi masif ini telah mengubah bentang alam menjadi lanskap kapitalistik yang rapuh. Hilangnya fungsi hidrologis hutan sebagai natural water reservoir menyebabkan air hujan yang seharusnya terserap dan dialirkan secara bertahap berubah menjadi runoff  yang membawa tanah, logam berat, dan limbah tambang ke permukiman warga.

Dari perspektif ekologi politik, bencana ini bukan sekadar “bencana alam”, melainkan bencana antroposentris yang diproduksi oleh kebijakan pembangunan yang memprioritaskan akumulasi profit di atas daya dukung lingkungan.

Ironisnya, meski Maluku Utara dijuluki hidden paradise, praktik tata kelola sumber dayanya justru mengikuti logika resource curse di mana kekayaan alam dieksploitasi untuk kepentingan korporasi transnasional.

Sementara masyarakat lokal menanggung risiko ekologis seperti banjir, pencemaran, dan hilangnya sumber penghidupan. Belum lagi kita melihat tentang kebijakan pembangunan yang antropo-sentris ini mengabaikan prinsip keadilan antar-generasi.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...