Mimpi Tertinggal di Balik Gemerlap Nikel Malut
Restorasi Maritim di Pulau Terpencil

M. Baiquni dalam bukunya Membangun Pusat-Pusat Di Pinggrian Otonomi Di Negara Kepulauan, menyatakan “persoalan ketertinggalan pembagunan di wilayah pinggiran pada umumnya dapat dilihat sebagai fenomena dikotomi wilayah pusat pinggiran (centre-periphery)”. Perspektif ini sering digunakan para ahli geografi dalam memahami dinamika pembagunan wilayah.
Pesona nikel yang tak terabaikan di Maluku Utara menjadi sebuah ramuan baru dalam proses pengelolaan pertumbuhan ekonomi dengan proyek hilirisasi nikel di Halmahera dan Pulau Gebe dan sektor pertambangan lainnya, diagungkan sebagai motor pertumbuhan ekonomi.
Namun, jika dilihat dalam laporan tahunan (WALHI Maluku Utara, 2020-2024) mengungkapkan dampak ekologi yang masif dalam 5 tahuh terkahir akibat pertambangan, sementara sedimentasi dari pertambangan berakibat bencana ekologi.
Hal ini terlihat di Halmahera Tengah tahun 2024 terjadi bencana banjir dan penderitaan yang menyebabakan 6.567 penduduk dan ribuan pekerja tambang (WALHI, 2024).
Di tengah cengkeraman industrialisasi ekstraktif, sektor maritim Maluku Utara bukanlah ilusi romantis melainkan darurat ekologis-sosial yang menuntut respon kebijakan transformatif.
Apakah mungkin pemerintah justru mengorbankan kedaulatan bahari di wilayah kepulauan ini di mana hampir 90% wilayahnya adalah laut untuk memburu rantai ekonomi dari tambang nikel? Pertanyaaan ini saya kira perlu dijawab dengan tegas oleh pemerintah daerah.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar