Restorative Justice antara Tantangan dan Peluang

Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam criminal justice science di Amerika Serikat seiring dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegak hukum.
Didasarkan pada pendekatan hukum dan ketertiban yang sangat menggantungkan keberhasilan penanggulangan kejahtan pada efektivitas dan efisiensi kerja organisasi kepolisian atau lembaga penegak hukum lainnya.
Dalam hubungan ini pihak kepolisian ternyata menghadapi berbagai kendala, baik yang bersifat operasional maupun prosedur legal dan kemudian kendala ini tidak memberikan hasil yang optimal dalam upaya menekan kenaikan angka kriminalitas, bahkan terjadi sebaliknya.
Didalam pelaksanaan peradilan pidana, ada suatu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana itu. Istilah itu adalah “due process law”, yang dalam bahasa Indonesia dapat kita terjemahkan “proses hukum yang adil atau layak”.
Lawan dari proses ini adalah “arbitrary process” atau “proses yang sewenang-wenang atau berdasarkan semata-mata kuasa penegak hukum”.
Sistem Peradilan Pidana yang digariskan KUHAP Tahun 1981 merupakan Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang diletakkan di atas prinsip “diferensiasi fungsional” antara aparat atau lembaga penegak hukum sesuai dengan “tahap proses kewenangan” yang diberikan undang-undang.
Aktivitas pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana merupakan fungsi gabungan (collection of function) dari: Legislator, Polisi, Jaksa, Pengadilan Penjara, Badan yang berkaitan, baik yang ada di lingkungan pemerintahan atau di luarnya.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar