Site icon MalutPost.com

Jurnalis Bukan Sasaran Kekerasan, Tapi Pilar Demokrasi

Oleh: Alfajri A. Rahman
(Jurnalis)

“Jurnalis adalah pembangkit semangat, pembuat kesadaran, dan penuntun masa depan.” -Katherine Anne Porter

Februari masih dalam suasana peringatan Hari Pers Nasional (HPN), momen yang seharusnya menjadi penghormatan bagi para jurnalis yang setiap hari menyajikan informasi bagi masyarakat.

Namun, ironisnya, bulan ini justru menjadi saksi meningkatnya kekerasan terhadap wartawan di lapangan. Dari kasus pemukulan hingga intimidasi, semuanya mencerminkan betapa rentannya posisi jurnalis dalam menjalankan tugasnya.

Kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan di Maluku Utara (Malut) tahun ini sudah terjadi beberapa kali. Dari Haltim hingga Ternate, ada jurnalis yang dipukul oleh staf desa, diserang saat meliput aksi demonstrasi, hingga diintimidasi oleh aparat.

Ini bukan sekadar insiden biasa, melainkan bagian dari pola yang terus berulang: jurnalis diperlakukan sebagai ancaman, bukan sebagai penyampai kebenaran.

Kita harus ingat bahwa jurnalis bukan sekadar “penekan tombol” atau sekumpulan orang yang hanya mencari sensasi. Mereka adalah pilar demokrasi yang menjalankan fungsi kontrol sosial.

Dalam banyak kasus, kekerasan terhadap jurnalis justru terjadi ketika mereka berusaha mengungkap sesuatu yang ingin disembunyikan oleh para pemegang kekuasaan.

Inilah sebabnya mengapa sebagian pejabat atau aparat menganggap jurnalis sebagai musuh, terutama mereka yang bersifat otoriter dan ingin mempertahankan kekuasaannya tanpa kritik.

Berdasarkan pemikiran Immanuel Kant, kebenaran tidak bisa diperoleh secara dogmatis, tetapi melalui proses pencarian dan kritisisme berbasis akal budi. Jurnalis, dalam perannya, melakukan hal tersebut setiap hari: menggali fakta, menguji informasi, dan menyajikannya ke publik.

Baca Halaman Selanjutnya..

Kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya serangan terhadap individu, tetapi juga serangan terhadap hak masyarakat untuk mengetahui kebenaran.

Seharusnya, aparat penegak hukum dan pemangku kepentingan memahami bahwa kebebasan pers adalah bagian dari demokrasi yang sehat.

MoU antara Dewan Pers dan berbagai stakeholder sudah jelas menyatakan bahwa hubungan antara jurnalis dan narasumber tidak boleh diikat oleh kekerasan atau ancaman.

Jika ada keberatan terhadap pemberitaan, jalur yang tersedia adalah mekanisme hak jawab atau pengaduan ke Dewan Pers, bukan dengan tinju atau intimidasi.

Saya berharap kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi segera diusut tuntas, agar tidak ada lagi wartawan yang menjadi korban saat menjalankan tugasnya.

Jurnalis bukanlah ring tinju atau alat untuk melampiaskan amarah. Mereka adalah penjaga informasi, penegak transparansi, dan pelindung demokrasi. Jika kita ingin hidup dalam masyarakat yang beradab, maka kekerasan terhadap jurnalis harus dihentikan, sekarang juga. (*)

Exit mobile version