Oeh: Suryani S Tawari
Awan hitam mulai menggumpal, langit mulai gelap dan cuaca kembali tidak bersahabat. Sore itu, hujan kembali turun dengan deras. Namun, kali ini tidak membatalkan lagi rencana perjalanan ke Morotai, setelah tiga hari tertunda. Cuaca lebih baik dari hari kemarin. Lebih tepatnya, hujan tidak lagi disertai petir dan ombak. Hanya saja angin berhembus kencang.
Pulau Morotai berada di utara pulau Halmahera dan lautan pasifik. Ada tiga akses ke Morotai dari Kota Ternate. Pertama, melalui jalur udara, tapi seminggu hanya sekali. Atau melalui transportasi laut setiap hari. Ada kapal yang langsung dari pelabuhan Ahmad Yani atau Pelabuhan Dufa-Dufa. Bisa juga menyebrang ke Sofifi pusat ibu kota Maluku Utara (Malut), lalu melintas ke Tobelo menggunakan transportasi darat. Setelah dari situ, naik speed boat atau kapal ferry dari Tobelo untuk menyebrang ke Daruba, pusat kota Morotai.
Jarak tempuh jika menggunakan kapal laut, bisa semalam suntuk. Saya dan Abang Mici, salah satu senior Jurnalis sebagai patner perjalanan ke Morotai, memilih naik kapal dari Pelabuhan Ahmad Yani. Kapal akan berangkat pada pukul 20:00 WIT, tapi ketika jarum jam sudah menunjukan pukul 19:17 WIT, saya masih terjebak hujan. Handphone di saku celana terus bergetar, pertanda panggilan masuk dari Abang Mici tapi, telponnya sengaja diabaikan karena sudah di depan pelabuhan dan takutnya Handphone rusak.
Ketika hujan mulai mengurangi volume nya, saya langsung berjalan menuju terminal pelabuhan. Abang Mici sedari tadi menunggu di teras terminal dengan tas rangsel, langsung mengarahkan untuk membeli tiket. Rp215 ribu per orang. Tiket sudah di tangan, kami langsung berjalan menuju kapal Geovani seperti yang tertulis dalam tiket.
Sebelum naik ke atas kapal, kami membeli nasi ikan dan air mineral yang dijajakan ibu-ibu dengan payung seadanya, di pelabuhan. Malam itu, para buruh sibuk angkut muatan ke dalam kapal sedangkan penumpang juga mulai naik. Sementara para pengantar hanya berdiri melihat orang terkasih naik kapal. Semua sibuk dengan kegiatannya masing-masing sampai pada pukul 20:20 WIT, cuaca juga sudah bisa diajak berdamai, barulah kapal melaju menuju Morotai.
Saat kapal lepas dari pelabuhan, mata dimanjakan dengan keindahan Kota Ternate di malam hari. Cahaya lampu kota mulai menghilang ketika kapal melaju ke Pulau Hiri. Para penumpang juga sudah terlelap di atas ranjang besi susun yang terbentang luas dalam kapal.
Ketika melewati perairan Loloda di sepertiga malam, kapal mulai oleng sampai masuk di perairan Morotai. Namun, penumpang masih terlelap atau mungkin saja berpura-pura terlelap. Sementara saya yang tidak bisa tertidur, hanya bisa duduk di ranjang besi di temani anak kecil yang asik nonton film India. Sesekali lagu India nya memecah keheningan kapal.
Penumpang mulai terbangun pada puluk 07:03 pagi. Mereka mulai sibuk merapikan barang muatan dan sarapan. Begitu juga dengan abang Mici. Kemudian saya beranjak dan berjalan di depan kapal untuk melihat sekitar. Ada pulau kecil tampak samar-samar karena terhalang hujan deras. Jarak pandang tak terlalu jauh tapi, saya yang baru pertama kali ke Pulau Morotai penasaran.
Abang Mici sesaat berperan menjadi tour guide menujuk salah satu pulau. “itu pulau Dodola” saya langsug mengabadikan pulau-pulau yang tidak terlalu jelas terlihat. Tiba-tiba ada suara terdengar dari tangga kapal yang dekat dengan kami berdiri. “itu bukan Dodola, kalau mau lihat Dodola, kalian harus ke sebla (sisi lain kapal)”. Dia sembari menunjuk sisi lain kapal. Sontak kami tertawa dan laki-laki itu menanyakan beberapa hal yang umum ditanyakan seperti “dari mana? Baru pertama datang ke Morotai?” lalu dia menjelaskan beberapa pulau di sekitar.
Setiba di Pelabuhan Daruba, kami sempatkan sarapan kemudian dijemput Kak Anton, salah satu mantan Jurnalis Malut Post yang memilih hidup dan menetap di Pulau Morotai. Alasan paling sakralnya, dia telah jatuh cinta dengan wanita cantik Morotai, Kak Ria namanya. Mereka punya tiga anak.
Baca halaman selanjutnya..
Sebelum kami diajak ke rumahnya, Ka Anton membawa kami keliling pusat kota Morotai. “Perkenalan dulu dengan udara Morotai baru ke rumah” kata dia. Intinya, dia ingin mengajak kami mengintari pusat kota agar punya gambaran tentang Pulau Morotai. Dia menjelaskan secara detail setiap sudut kota. Terlihat banyak bangunan yang dibangun tapi tidak digunakan. Pusat perbelanjaan dan fasilitas lain yang mangkrak karena asal dibangun tanpa tahu skema untuk menghidupkan ekonomi daerah.
Rangka bangunan yang sudah berlumut berada di tengah hutan kota juga menarik untuk, menjadi topik pembicaraan selama mengelilingi pusat kota. Bangunan itu merupakan Kantor Bupati Morotai yang gagal dibangun karena, kawasan pembangunan merupakan lahan sengketa. Penjelasan itu juga menjawab pertanyaan di kepala sedari tadi tentang hutan luas yang berada di tengah kota. Ternyata bukan untuk hutan lindung tapi lahan yang bersengketa sehingga tidak ada pembangunan di area itu. Warga yang sejak dulu mendiami Morotai mengatakan lahan itu milik mereka, tapi TNI AU juga mengklaim itu tanah AURI. Masalah sengketa lahan belum terselesaikan hingga sekarang.
Selanjutnya, kami melewati pantai Army Dock yang menjadi saksi bisu perang dunia ke II. Dulunya, Army Dock merupakan bekas pelabuhan bagi armada laut pasukan sekutu Amerika Serikat. Pantai ini tidak hanya menyimpan sisa-sisa peninggalan perang seperti reruntuhan dermaga dan artefak yang ditemukan di sekitar pantai, tetapi menggabungkan keindahan alam. Pantai Army Dock menawarkan pasir putih, laut dan senja yang indah.
Tempat itu juga menjadi saksi sejarah kak Anton dan Abang Mici saat masih meliput sebagai Kabiro Malut Post di Morotai. Keduanya menyelintik ingatan yang terlampau usang. Sedangkan saya yang buta akan Morotai, menikmati percakapan itu. Percakapan bernas itu berlanjut hingga di meja makan. Menu yang disajikan Kak Ria, menambah energi untuk membahas berbagai macam topik.
Setelah itu, Irham atau biasa disapa Ko Ir, Kabiro Malut Post dan Paps salah satu jurnalis di Morotai datang menjemput kami untuk memulai perjalanan pertama ke desa produksi ikan tuna. Desa yang kami singgahi pertama yaitu Desa Daeo. Kepala Desa Daeo menjadi tujuan untuk menggali informasi terkait kondisi perikanan di Morotai. Depan rumah nya, dia mencerita banyak hal.
Kemudian kami menemui beberapa nelayan yang membersihkan hasil tangkapan mereka dekat tambatan perahu yang tidak lagi berbentuk karena, sebagian besar papanya sudah lepas. Sedangkan di atas pelabuhan tampak beberapa anak dengan kail dan nilon seadanya memancing ikan kecil. Mereka sebagai anak nelayan yang setiap hari bersentuhan dengan perikanan begitu lihai ketika umpan mereka dilahap ikan.
Laut di depan kampung itu terlihat begitu tenang. Warna-warni kapal nelayan berjejeran turut mempercantik permukaan air laut. Keindahan itu, hanya dinikmati beberapa menit, lalu bergeser ke Desa Sangowo dengan tujuan masih sama yaitu, menemui nelayan. Namun, ketika ke tempat pendaratan ikan, orang yang ingin kami tuju tidak sedang berada di tempat. Kami hanya menemui tulang ikan yang dibuang begitu saja, padahal kalau diolah menjadi pakan tentu punya nilai ekonomi yang tinggi. Itu terjawab setelah bertemu dengan salah satu nelayan Sangowo.
Nelayan Sangowo itu mengatakan bukan hanya tulang ikan tapi, ikan yang ditangkap nelayan kadang dibuang atau dikubur begitu saja akibat fasilitas yang tidak memadai. Praktik monopoli di dunia perikanan yang kuat juga turut membuat nelayan merugi. Investor lain dilarang masuk ke Morotai dan nelayan dilarang jual keluar daerah. Nelayan hanya diperbolehkan jual hasil tangkapan ke PT Harta Samudera sebagai pemain tunggal.
Ada banyak nestapa nelayan yang kami dapat dalam percapakan itu, termasuk praktik illegal fishing. Dia tampak murka ketika menyampaikan berbagai kebijakan yang menekan nelayan.
Waktunya petang, kami pun pulang dan mampir menikmati senja di Pantai Army Dock tapi tertutup awan. Walakin, keindahan pantai army dock tetap meneduhkan. Pasir putih yang terbentang luas dengan laut yang jernih, anak-anak kecil mandi pantai, tempat-tempat duduk yang beratapkan terpal dan katu bejejeran sepanjang pantai, serta dilengkapi berbagai kuliner seperti pisang goreng, es kacang dan teh hangat menjadikan Army Dock sebagai tempat andalan selama di Morotai.
Baca halaman selanjutnya..
Esoknya, menuju ke Desa Bere-Bere untuk bertemu dengan Abdul Rahman, salah satu nelayan yang sempat hilang bersama kakanya hingga 18 hari baru ditemukan di perairan Filipina pada tahun 2022. Selama perjalanan menuju Desa Bere-Bere, banyak tempat yang mencuri perhatian karena terlihat keindahan alamnya. Ko Ir yang sudah 2 tahun lebih bertugas di Morotai, menjelaskan setiap pertanyaan, lalu sesekali ditimpali paps.
Jalan raya yang berada di tepi pantai, melengkapi perjalanan. Pasir putih dan deburan ombak melukis keindahan di daratan pasifik. Paps akan menepikan mobil jika kami ingin berfoto. Tempat pertama yang kami singgahi yaitu Rorasa. Ketika kami asik mengabadikan pemandangan yang ada, nampak perempuan berbaring di atas pasir putih beratapkan langit sembari membaca buku. Perawakannya dari eropa. Ada juga lelakinya yang asik berselancar. Romantisme pantai membawa keduanya datang ke tempat itu.
Rorasa merupakan salah satu dari potensi wisata di Morotai yang terabaikan, padahal menawarkan keindahan alam yang jika terkelola dengan baik akan menarik banyak wisatawan.
Kami kembali naik mobil hitam yang sudah terparkir di samping jalan untuk melanjutkan perjalan. Paps menghidupkan mesin dan kami bergerak ke arah utara Morotai. Sepanjang perjalanan terlihat berbagai aktivitas masyarakat. Kalau lewat perkampungan terlihat anak-anak yang asik bermain. Warga duduk bergelombol sembari bercerita. Kadang menemukan tenda terpasang di jalan dengan sound sistemnya. Berbagai lagu kesukan mereka diputar sebagai bentuk euforia dalam kemenangan Pemilihan Kepala Daerah.
Beberapa menit melakukan perjalanan, kami mendapati gerbang desa yang tertulis “Selamat Datang di Desa Bido”. Seperti nama nya, di desa ini tumbuh kelapa bido. Kelapa yang sudah ditetapkan sebagai tanaman endemik Morotai ini, tumbuh subur di belakang rumah warga yang membelakangi pantai. Varietas kelapa super unggul ini punya postur yang sangat pendek. Paling tinggi hanya 9 meter.
Paps mengarahkan mobil ke jalan pantai. Di pantai kami bertemu dengan Irenius Rahamati (57 tahun) dan Stevanus (73 tahun) yang sedang. Kami menyapa keduanya dan bertanya-tanya tentang kelapa bido, cara menanam dan luasan tanaman kelapa bido di pantai maupun di perkebunan masyarakat. Keduanya menjelaskan berbagai hal termasuk problem yang sering dihadapi yaitu, kelapa bido yang sudah dilarang untuk dibawa keluar tanpa izin tapi, tetap ada saja yang mencoba mebawa keluar sehingga berulang kali di tahan pihak terkait. Namun, belum memberi efek jera.
Lepas dari Desa Bido, kami menemui Abdul Rahman di Desa Bere-Bere. Wawancara banyak hal tentang pengalaman melaut, keluhan hingga hilang diperairan Filipina. Di ujung wawancara, pembahasan melebar terkait pulau-pulau yang terancam abrasi pantai. Tabailenge, pulau kecil yang berada tepat depan perkampungan Bere-Bere menjadi salah satu contohnya. Mendengar itu, sudah tentu insting jurnalis Abang Mici mengharuskan kami ke sana.
Pulau mungil itu butuh 10 menit saja sudah sampai tapi, berhadapan langsung dengan lautan bebas dan terlihat busa-busa putih hasil deburan ombak di samping pulau membuat saya berharap dalam batin agar tidak ke Tabailenge. Sementara Abdul Rahman dengan kapal 3 GT nya siap menahkodai perjalan. Kamarula Mahasari sebagai pengelola Tabailenge ikut serta menemani.
Warna air laut cenderung toska dan dikelilingi pasir putih serta tumbuh pohon cemara dan beberapa jenis pohon lain menyambut kami dengan hangat membuat cemas seketika hilang. Papan bertulisakan “Anda memasuki kawasan rawan bencana” juga turut menyambut kedatangan kami. Tidak jauh dari tulisan itu, tampak gedung yang katanya untuk pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Namun, belum diserahkan sudah rusak. Begitu juga jalan yang menggunakan keramik mengelingi pulau, juga patah karena abrasi pantai yang parah. Pohon-pohon besar di tepi pantai tumbang memaksa kami harus sedikit merayap agar bisa lewat.
Mengelilingi pulau itu hanya butuh 28 menit dengan jalan kaki. Setelah mengambil gambar dan mendengarkan penjelasan dari Kamarula, tentang Tabailenge yang terabaikan, kami langsung kembali ke titik awal pertama turun, lalu pulang.
Baca halaman selanjutnya..
Hari berikutnya, saya dan abang Mici menggunakan motor ke Kantor Bupati untuk bertemu dengan pejabat daerah untuk wawancara terkait perikanan di Morotai sekitar jam 10 WIT. Namun, kantor sepi. Belum ada satu pegawaipun yang datang. Jadi kami ke Universitas Pasifik (UniPas) Morotai. Bercerita sebentar dengan Dekan Perikanan lalu kembali ke Kantor Bupati dan mendapati Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Kesehatan yang menuntut gaji mereka tidak terbayar selama 2 bulan.
Kertas karton putih bertuliskan berbagai macam tuntutan dan pernyataan sikap di pegang masa aksi. “Kami butuh gaji, bukan janji” dan “Kaban Keuangan Adalah Maut”. Para masa aksi juga sesekali bersorak ketika laki-laki berkaos putih di atas truk yang dilengkapi sound system membakar amarah mereka dengan orasinya. Morotai tidak hanya menyimpan sejarah masa lalu yang kelam tapi banyak masalah yang sampai sekarang belum terselesaikan.
Kesehatan, pendidikan, air bersih dan lumpuhnya ekonomi daerah menjadi masalah yang belum diselesaikan. Gedung rumah sakit hanya tampak megah dari luar. Karena air bersih saja tidak mengalir berbulan-bulan dan tenaga kesehatan sering dibuat lapar dengan lambatnya pembayaran gaji. Usai melihat aksi kami menyelesaikan misi di desa nelayan dan singgah ke Museum Perang Dunia II yang sudah rusak bersama degan berbagai peninggalan sejarahnya.
Baca halaman selanjutnya..
Dodola Menyipan Nestapa
Pergi ke Morotai tidak lengkap rasanya jika belum sampai ke Pulau Dodola. Pulau kecil yang berda di depan Daruba. Pulau ini sering disebut surga di bibir pasifik. Pagi itu, Irham dan Paps keliling pusat kota Morotai dengan jeriken merah mencari Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk ke Pulau Dodola. Kami juga menyiapkan alan seadanya untuk dibawa.
Sampai ke Pelabuhan, paps pergi mengambil kapal 3 GT milik kerabatnya untuk bisa mengangkut kami ke pulau-pulau depan Daruba. Paps tidak hanya lihai mengendarai kendaran di darat tapi, juga laut. Dia sandarkan kapal kecil itu di dermaga terapung.
Butuh kejelian saat berjalan menuju ke dermaga terapung, karena harus melewati dermaga kayu yang lapuk. Perjalanan kami kali ini tidak hanya berempat, tapi Jafran anak kampung Paps juga gabung. Tidak jauh dari dermaga, Paps menawarkan untuk singgah ke Pulau Zum-Zum. Pulau ini tidak dikelilingi pasir putih karena sebagiannya tumbuh pohon bakau.
Pulau ini menjadi selimut untuk tentara Sekutu yang dipimpin oleh Jenderal MacArthur. Maka dari itu, ketika perahu kami sampai ke bibir pantai Pulau Zum-Zum, patung Douglas MacArthur berdiri gagah menyambut kedatangan kami. Patung itu menjadi bukti kalau seorang jenderal angkatan darat yang menjabat komandan pasukan Amerika Serikat di Filipina 1942, kemudian menjadi komandan pasukan sekutu wilayah Pasifik Barat Daya, tahun 1942-1945. Terkenal dengan Strategi “Leap Frogging” dan slogannya “I Shall Return” dalam serangan merebut kembali Filipina. Merebut kepulauan Morotai pada 1944 sebagai basis penyerangan ke Filipina itu pernah mendiami pulau Zum-Zum.
Tak jauh dari kapal sandar ada tiga yang asik membakar ikan hasil tangkapan. Sedagkan kami seperti biasa mengabadikan momen dan melihat sekitar. “Dulu saya dan Anton pernah antar jurnalis perempuan dari media Kompas untuk liput goa pusat komando,” kenang abang Mici. Sebelum saya berkata apa-apa, abang Mici melanjutkan perkataan “Cuman tempatnya jauh dan ditutupi semak belukar jadi sulit untuk ke sana jadi tidak usah pergi karena, waktu kita terbatas”. Kami manut saja.
Setelah itu, perahu kami merapat ke Pelabuhan Pulau Koloray. Pulau yang terancam akan abarasi pantai ini, terdapat satu desa yaitu, Desa Koloray. Pekerjaan utama masyarakat desa ini yaitu, petani rumput laut dan nelayan. Desa ini juga terkenal dengan ikan asin nya.
Samping pelabuhan, di bawah pohon waru dan cemara terlihat para ibu-ibu sibuk mengikat rumput laut untuk ditanam di Pulau Dodola yang tidak jauh dari Pulau Koloray. Kami menghampiri mereka. Warga desa menyambut kami dengan hangat sembari mengikat rumput laut, warga meladeni obrolan dengan kami. Tampak juga anak kecil yang lihai dalam mengikat rumput laut. Dia jadikan pekerjaan orang tua sebagai tempat bermain.
Kemudian kami menanyakan rumah kelapa desa. Para kelompok petani rumput laut itu mengarahkan jalan menuju rumah kepala desa. Kami langsung beranjak pergi tapi, sebelum meninggalkan tempat itu, ada suara pangilan untuk Irham. Suara itu bersumber dari para petani rumput laut. Ternyata teman masa kecil Irham di kampung halaman, Musbar namanya. Dia ikut kapal nelayan hingga ke Koloray dan menikahi gadis di desa itu.
Sudah selayaknya teman lama yang baru bertemu, ada banyak cerita dan kabar yang dibagi sembari berjalan ke rumah kepala desa. Di jalan kami jumpai rumput laut yang dikeringakan dengan cara tradisional yaitu di jemur. Rumput laut atau agar-agar yang biasa disebut masyarakat lokal itu mulai menguning, penanda kering. Kampung kecil itu tampak tenang.
Setelah dua pulau kami singgah dari 5 pulau depan Daruba yang kami lewati, Pulau Dodola jadi tujuan akhir dan jadi tujuan utama. Hanya butuh beberapa menit dari Koloray untuk sampai ke Dodola. Di sana terpampang 2 pulau dipisahkan air laut. Satu pulau lebih besar atau lebih dikenal Dodola besar dan satunya lagi, Dodola kecil.
Baca halaman selanjutnya..
Seperti di pantai lain yang ada di Morotai, pohon cemara juga tidak absen dari pulau Dodola. Pohon yang punya ciri kas daun berbentuk jarum dan selalu hijau ini tumbuh di bibir pantai Dodola. Kalau semakin masuk dalam pulau, bukan lagi pohon cemara yang kita dapati tapi perkebunan rakyat dan semak belukar lainnya.
Perahu kami sandar di tepi pantai, walau ada pelabuhan. Kami langsung lompat ke pasir putih yang halusnya seperti tepung. Airnya bening, suhunya hangat walau saat itu mendung. Ada beberpa pegawai Dinas Perhubungan Morotai, dengan seragam lengkap karena masih jam kantor terlihat duduk di bawah pohon cemara.
Mereka duduk mengelilingi meja kecil yang dipenuhi cemilan dan botol berwarna hijau, berlogo bintang. Melihat kedatangan kami, mereka dengan segera membersihkan minuman di atas meja dan pergi dan speed boat.
Sementara kami membayar karcis masuk ke Dodola dan melahap nasi, ikan dan sambal yang sudah dibawa. Sederhana tapi begitu nikmat. Setelah makan, mereka duduk istrihat dan bercerita-cerita sebentar, sedangkan saya langsung mengeksplor seluk beluk Pulau Dodola.
Sepasang suami istri saya temui sedang menjaga rumput laut yang mereka tanam. Di atas permukaan laut terlihat tiang-tiang kayu dan bambu berdiri sebagai penanda ada penanaman rumput laut. Dengan begitu tidak ada nelayan atau kapal melintasi area itu, karena bisa membuat rumput laut rusak.
Keduanya warga Koloray. Itu diketahui setelah ada obrolan singkat, sebelum Ko Ir menghampiri, lalu disusul Paps. Kami bertiga berjalan menuju pasir putih yang baru saja timbul diantara Dodola kecil dan Dodola besar setelah air laut surut. Pasir itu menghubungkan kedua pulau yang tadinya terpisah saat air pasang.
Kami berfoto-foto dan berjalan di atas pasir putih yang bersih dan lembut dengan gradasi warna air laut yang begitu sedap dipandang. “Setiap sudut Dodola itu indah,” kata Irham. Pernyataan itu benar adanya kalau saja, kita menutup mata dan tidak melihat segala fasilitas yang rusak padahal dibangun dengan anggaran miliaran rupiah. Juga tidak melihat salah satu dari 10 destinasi Bali Baru di Indonesia ini krisis perhatian dari daerah maupun pusat, tentu spot-spot di Dodola sangat indah.
Untuk membuat foto lebih estetik kami kembali ke Dodola Besar mengambil property pendukung. Ko Ir membawa kursi agar kami bisa berfoto ala-ala anak pantai. Puluhan jepretan telah diselesaikan dan kembali karena sudah mulai gerimis. Baru duduk sebentar, melihat abang mici berjalan menuju ke Dodola Kecil, membuat saya bergegas menyusul. Nanggung kalau sudah sampai Dodola tapi Dodola Kecilnya belum sampai. Di sana hanya sebentar untuk melihat abrasi pantai langsung kembali ke Dodola Besar.
Kurang rasanya tidak berfoto dengan anggota lengkap. Abang Mici, Ko Ir, Paps dan Jafran sudah mengambil posisi, sementara saya meletakan kamera di kursi dengan durasi waktu beberapa menit. Kemudian lari bergabung dengan mereka untuk berfoto.
Selesai berfoto kami bersantai dan mereka bercerita bagaimana nikmatnya kemping di dodola dengan pemandangan Dodola tampa cantik di pagi hari, ketika matahari baru terbit atau saat matahari terbenam di sore hari.
Baca halaman selanjutnya..
Agas ikut mengambil bagian di tengah candaan dan tawa di bibir pantai itu. Gigitan nyamuk kecil atau agas ini perih dan gatal sehingga membuat kulit merah. Laut mulai terlihat bergelombang sehingga sebelum matahari terbenam. Keinginan saya ke Dodola yang lama terpendam akhirnya terpenuhi.
Gelombang membuat sedikit tegang tapi kami menikmatinya. Paps mengarahkan perahu ke kanal kecil yang terbentuk secara alami di hutan bakau. Pemandagan burug-burung yang bertebangan dan pohon bakau terlihat menarik. “Ada kera yang hidup di sini (hutan mangrove),” kata Paps. Dan dibenarkan oleh Jafran dan Ko Ir. “Cuman kalau kera di Morotai tidak sama dengan di Bacan, yang ekorya pendek. Kera di sini ekornya panjang”.
Tanpa sadar kami sampai ke hulu kanal alam itu, dan mendapati beberapa anggota polisi yang berpakaian stenga dinas sedang memancing. Hari makin gelap. Kapal diikat ke kayu bakau dan kami turun, lalu berjalan melintasi perkebunan warga dengan pemandangan tanaman sayur mayur dan rumah kebun di sisi kanan jalan tanah yang sempit.
Ketika menemukan jalan aspal, rumah warga mulai terlihat. Warga yang baru saja pulang salat menyapa kami. Tak lupa kami beri senyum terbaik kami untuk mereka. Kami juga berpamitan dan berterima kasih untuk pemilik kapal.
Tugas liputan hampir selesai. Penghujung waktu di Morotai, air terjun Nakamura menjadi tujuan. Pertigaan jalan ada patung Nakamura dengan tulisan Teruo Nakamura seorang suku asli Taiwan yang direkrut menjadi tentara sukarela kekaisaran Jepang pada Perang Dunia ke II, sebagai pasukan khusus. Takasago ke 4 yang terkenal sebagai pasukan khusus perang gerilya untuk mempertahankan kepulauan Morotai dari gempuran tentara sekutu.
Melewati jalan berkelok Desa Nakamura dan jalan berlubang serta menanjak, suara air terjun yang gemuru mulai terdengar. Tandanya sudah dekat tinggal parkir mobil dan jalan kaki sebentar langsung terlihat air terjun yang deras. Air terjun Nakamura menjadi sumber air bersih bagi warga Morotai. Pipa ukuran besar terbentang di samping air terjun dan ada penampung air yang terbuat dari beton setinggi 2 meter di atas tebing.
Untuk sampai ke bak penampung, harus melewati jembatan kayu dan puluhan anak tangga. Air sungai di atas tebing begitu bening. Pohon yang rimbun dan suara gemerci air membuat saya terpikat. Saya melihat sekitar tapi selang beberapa waktu, saat berbalik Abang Mici yang sedari tadi berdiri di belakang tidak terlihat. Berulang kali saya panggil tapi tidak ada sahutan. Saya menuruni beberapa anak tangga dan memanggil Ko Ir dan Paps untuk menanyakan keberadaan abang Mici tapi, mereka tidak mendengar suara panggilan. Saya mulai panik, karena terhasut dengan cerita rakyat tentang keberadaan orang moro setelah pulang dari Air Kaca di hari sebelumnya.
Cerita mistis itu tidak lagi asing di telinga masyarakat lokal. Mereka percaya jika, orang Moro itu ada tapi tidak terlihat. Banyak kisah yang dikaitkan dengan orang moro seperti, warga hilang berminggu-minggu, lalu muncul dengan cerita diculik orang Moro sehingga tidak terlihat. Saya menuruni beberapa anak tangga lagi dan kembali memanggil untuk memastikan saya yang diculik orang Moro atau abang Mici yang diculik. Namun, Ko Ir menengok dan menjawab. Lalu saya kembali naik untuk mencari abang Mici dengan napas tersengal-sengal. Ternaya abang Mici berada di sisi lain bak penampung. Dia bukan disimpan orang moro, hanya suara deru air terjun yang menutupi suara saya sehingga tidak terdengar.
Hari makin siang dan kami langsung ke Daruba Pantai untuk menutup perjalanan dengan makan ikan bakar yang baru sekali mati. Daerah ini memang penghasil ikan tapi harga ikan bakarnya menguras kantong. Kak Upi salah satu kenalan kami dari Ternate ikut bergabung. (sst)