Site icon MalutPost.com

Merakit Ulang Efisiensi

Oleh: Fachry Nahar, S.Ag. MM.
(Abna Alkhairaat Kalumpang Ternate, Alumni IAIN Ternate & Univ. Satya Gama Jakarta. ASN pada INSPEKTORAT Kota Ternate)

Sejak diberlakukan Inpres nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja dalam APBN maupun ABPD menuai berbagai tanggapan kontroversi, kekhawatiran kegagalan program sebagai argumen, bahkan sebagian panik akan kehilangan obsesi dan tendensi perencanaan anggaran yang telah dibangun terancam gagal akibat penghematan.

Kebijakan efisiensi anggaran memang pada dasarnya diperuntukan selain mitigasi anggaran untuk memastikan program kegiatan lebih produktif berbasis kebutuhan dan rasionalisasi pengeluaran.

Berdasarkan prioritas pembangunan juga dimaksudkan untuk mencegah pemborosan dan kebocoran, meskipun banyak pihak beranggapan bahwa penghematan yang terlalu ketat tidak fleksibel menjadi ancaman kegagalan program.

Terabaikannya pelayanan publik yang menjadi urat nadi pembangunan berdampak pada pertumbuhan ekonomi, kesehatan fiskal dan perlambatan ekonomi bahkan berpotensi menurunkan daya beli masyarakat karena pertumbuhan ekonomi masih dipengaruhi oleh tingkat konsumsi masyarakat, belanja pemerintah, investasi, ekspor dan impor.

Merupakan posisi strategis menjaga konsistensi pertumbuhan ekonomi agar tetap stabil dan inklusif bagi keberlangsungan jangka panjang kesehatan fiskal ditengah ancaman resesi ekonomi dunia dan dampak krisis iklim.

Narasi efisiensi adalah tema lama yang terus bertransformasi pada tujuan yang ideal yakni penghematan yang berdaya guna dan berhasil guna, meskipun saat ini menjadi pembahasan utama yang cukup menyeret perhatian publik seakan makna efisiensi selama ini yang menjadi prinsip dalam penyusunan anggaran disangkal oleh publik dan diragukan cara kerjanya.

Baca Halaman Selanjutnya..

Sehigga harus dirakit ulang untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa makna efisiensi masi konsisten dan relevan dengan substansinya walaupun terkadang efisiensi hanya menjadi syarat formil dalam memenuhi kaidah perencanaan anggaran yang nyaris kehilangan legitimasi pada tataran implementasi.

Sehingga diperlukan upaya merakit kembali makna efisiensi yang konsisten dengan implementasi untuk kepentingan penyusunan perencanaan penganggaran.

Fakta yang menjadi argumen publik adalah praktek inefisiensi melalui laporan ikhtisar hasil pemeriksaan semester (IHPS) I tahun 2024 yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melansir adanya ketidakhematan dan ketidakefektifan anggaran sebesar Rp. 1,55 Triliun dalam belanja pemerintah.

Demikian pula temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 2023 mencatat terdapat Rp. 141,33 Triliun merupakan belanja yang tidak efektif dan kurang efisien yang mencakup lima sektor yakni ketahanan pangan, peningkatan daya saing pariwisata, pemberdayaan UMKM, prevalensi stunting, dan pengentasan kemiskinan.

Besaran efisiensi yang dilakukan saat ini dalam rangka penghematan cukup fantastik yakni mencapai Rp. 306,7 Triliun, dimana untuk K/L Rp. 256,1 triliun, dan transfer ke daerah sebesar Rp. 50,5 triliun.

Langkah ini merupakan upaya pemerintah menegaskan kembali bahwa efisiensi harus benar-benar menyentuh dasar makna secara substantif implementatif tidak sekedar syarat formil dan cerimonial belaka, melainkan harus menjadi standar penghematan sebagai intrumen pencapaian hakikat keadilan anggaran, meskipun saat ini secara konsisten baru mulai ditegakan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Implementasi efisiensi anggaran selama ini hanya menyentuh pada tataran pengeluaran (spending) semata tidak berbasis pada hasil capaian (outcome) sehingga ukuran pencapaian hanya dinilai sebatas belanja sesuai dengan dokumen anggaran dan pertanggungjawaban meskipun tidak mencapai hasil manfaat optimal di masyarakat.

Sehingga akhirnya anggaran yang disusun dalam perencanaan juga sebatas ukuran besaran belanja dan harga barang yang berlaku tanpa memastikan hasil dan manfaat yang diterima masyarakat, akhirnya berpotensi mark-up dan pemborosan anggaran juga celah.

Kebocoran dan ruang korupsi terbuka lebar meskipun efisinsi sebagai syarat penyusuanan telah diterapkan. Hal inilah yang menjadi keraguan dan ketidakpercayaan publik mengenai efisiensi anggaran yang berlangsung selama ini.

Untuk itu diperlukan strategi mengembalikan kepercayaan (trust) publik mengenai efisiensi melalui upaya merakit ulang makna penghematan dalam penyusunan anggaran yang memastikan bahwa setiap rupiah yang digunakan secara optimal semata-mata bagi kepentingan rakyat, tepat sasaran dan mampu menutupi kebocoran dan mengendalikan pemborosan. (Kompas, 17/2/2025)

Ini dilakukan dengan cara sinergi antara efisiensi dan refokussing untuk merakit kembali perencanaan anggaran dan menata ulang implementasi efisiensi secara substantif melalui dua pola yakni efisensi dan refokussing.

Dimana program efisiensi dilaksanakan untuk memperbaiki cara belanja, sedangkan refokussing adalah tentang mengubah arah belanja sesuai kebutuhan dan prioritas.

Dengan kata lain efisiensi sebagai fondasi dan basis fundamental anggaran dan refokussing sebagai navigasi memastikan arah capaian dan manfaat optimal diterima masyarakat.

Baca Halaman Selanjutnya..

Secara esensial efisiensi dan refokussing bukanlah opsi melainkan dua sisi yang saling melengkapi. Tanpa efisiensi, refokussing hanya akan memindahkan anggaran dari program boros ke program lain yang sama borosnya. Tanpa refokussing efisiensi bisa terjebak dalam logika irit anggaran tanpa visi jangka panjang.

Untuk itu menjadi penting dan urgensif bahwa efisiensi anggaran sebagai platform dan arah kebijakan memerlukan strategi refokussing untuk saling melengkapi agar mampu mengendalikan potensi pemborosan belanja dan kebocoran anggaran.

Sekaligus menigkatkan efisiensi dalam makna substansi maupun implementasi agar dapat menjawab keraguan publik terhadap konsistensi efisiensi anggaran dan belanja.

Dengan semangat efisensi dan refokussing anggaran sebagai upaya merakit kembali makna efisiensi yang substantif dan implementatif dipastikan dapat meningkatkan kualitas dan kapasitas belanja yang lebih produktif, inovatif, inklusif dan berkelanjutan secara konsisten melalui senergi antara K/L.

Serta Pemerintah Daerah mampu mengonstruksi energi baru melalui terobosan yang lebih kreatif dan responsif sekaligus menjawab keraguan publik terhadap efisiensi dan memastikan kebutuhan masyarakat terpenuhi secara efektif, tepat sasaran dan memadai. Semoga…..! (*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Kamis, 20 Februari 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/02/kamis-20-februari-2025.html

Exit mobile version