Merakit Ulang Efisiensi

Sehigga harus dirakit ulang untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa makna efisiensi masi konsisten dan relevan dengan substansinya walaupun terkadang efisiensi hanya menjadi syarat formil dalam memenuhi kaidah perencanaan anggaran yang nyaris kehilangan legitimasi pada tataran implementasi.

Sehingga diperlukan upaya merakit kembali makna efisiensi yang konsisten dengan implementasi untuk kepentingan penyusunan perencanaan penganggaran.

Fakta yang menjadi argumen publik adalah praktek inefisiensi melalui laporan ikhtisar hasil pemeriksaan semester (IHPS) I tahun 2024 yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melansir adanya ketidakhematan dan ketidakefektifan anggaran sebesar Rp. 1,55 Triliun dalam belanja pemerintah.

Demikian pula temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 2023 mencatat terdapat Rp. 141,33 Triliun merupakan belanja yang tidak efektif dan kurang efisien yang mencakup lima sektor yakni ketahanan pangan, peningkatan daya saing pariwisata, pemberdayaan UMKM, prevalensi stunting, dan pengentasan kemiskinan.

Besaran efisiensi yang dilakukan saat ini dalam rangka penghematan cukup fantastik yakni mencapai Rp. 306,7 Triliun, dimana untuk K/L Rp. 256,1 triliun, dan transfer ke daerah sebesar Rp. 50,5 triliun.

Langkah ini merupakan upaya pemerintah menegaskan kembali bahwa efisiensi harus benar-benar menyentuh dasar makna secara substantif implementatif tidak sekedar syarat formil dan cerimonial belaka, melainkan harus menjadi standar penghematan sebagai intrumen pencapaian hakikat keadilan anggaran, meskipun saat ini secara konsisten baru mulai ditegakan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4

Komentar

Loading...