Oleh: Muhar Syahdi Difinubun
(Kader HMI Komisariat FIB Unkhair, HMI Cabang Ternate)
Sebagai organisasi yang memiliki pengaruh besar di kalangan mahasiswa dan masyarakat, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) harus bertransformasi menjadi gerakan yang lebih progresif dalam isu lingkungan.
Dengan mengintegrasikan kesadaran ekologis dalam setiap aspek perjuangannya, HMI tidak hanya akan memperkuat posisinya sebagai organisasi mahasiswa terbesar, tetapi juga membuktikan bahwa Islam dan nasionalisme bisa berjalan beriringan dalam menjaga kelestarian bumi.
Sejak berdirinya pada 5 Februari 1947, HMI dikenal sebagai organisasi yang memiliki tradisi intelektual kuat dan selalu hadir dalam diskursus kebangsaan.
Namun, di tengah eskalasi krisis lingkungan, peran HMI dalam isu ekologi masih belum terlalu menonjol dibandingkan kiprahnya dalam isu sosial, politik, dan ekonomi.
Padahal, sebagai organisasi yang berbasis pada nilai-nilai Islam dan kebangsaan, HMI memiliki tanggung jawab moral, spiritual, untuk turut serta dalam perjuangan melindungi lingkungan. Islam sendiri menekankan pentingnya menjaga keseimbangan alam dan menolak segala bentuk kerusakan.
Krisis ekologi di Indonesia kini semakin mengkhawatirkan. Kerusakan hutan, pencemaran air dan udara, serta perampasan lahan atau ruang hidup masyarakat semakin masif akibat eksploitasi sumber daya alam (natural resources) yang semakin tidak terkendali.
Baca Halaman Selanjutnya..
Salah satu sektor yang menjadi sorotan adalah industri pertambangan, termasuk nikel, yang meskipun berkontribusi terhadap perekonomian, juga meninggalkan jejak kerusakan lingkungan yang luas.
Dalam situasi ini, HMI sebagai organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia memiliki peran strategis dalam merespons krisis ekologi yang terjadi.
Di samping itu, menyangkut dengan kebijakan hilirisasi di Indonesia yang begitu masif digencarkan belakangan ini, terutama dalam sektor pertambangan, di satu sisi dianggap sebagai langkah maju dalam mengurangi ketergantungan terhadap ekspor bahan mentah.
Tapi di sisi lain, ada tantangan besar yang harus dihadapi. Sebab, proses hilirisasi yang tidak terencana dengan baik dapat menimbulkan dampak negatif, seperti pencemaran lingkungan akibat limbah industri, perampasan lahan masyarakat, dan ketimpangan ekonomi yang semakin melebar.
Hilirisasi dengan demikian bukan hanya terkait persoalan ekonomi semata, tetapi juga menyangkut keadilan sosial (social justice), keberlanjutan lingkungan (environmental sustainability), dan kedaulatan nasional (national soverignity).
Catatan ini berusaha menelaah relasi HMI dengan peran dan tanggung jawab intelektual, moral serta spiritualnya terhadap krisis ekologi dengan kebijakan hilirisasi yang semakin masif digencarkan hari-hari ini disertai dengan beberapa contoh kasus di Indonesia. Sebuah catatan reflektif menyambut dies natalis HMI ke-78.
Baca Halaman Selanjutnya..
Tragedi Ekologis: Kisah-kisah Pilu Tentang Kepunahan
Barangkali memang tak keliru apa yang didalilkan para ilmuwan itu, bahwa saat ini kita tengah memasuki kepunahan massal ke-6, setelah lima kepunahan massal sebelumnya dalam sejarah bumi sejak 447 juta tahun lalu.
Kepunahan pertama pada zaman Ordovician-Silurian hingga 667 juta tahun lalu untuk kepunahan kelima pada zaman Cretaceus-Paleogene sebagaimana dilansir mongabay.co.id pada tahun 2018.
Meskipun hal demikian masih dalam bentuk argumentasi yang prediktif, gejala-gejalanya seperti mulai tampak jelas terjadi. Setidaknya, berdasarkan paradigma evolusi seperti yang disebutkan pada laman nationalgeographic.grid.id (2019).
Deretan kepunahan massal pada kehidupan di bumi tersebut diawali oleh proses terbentuknya bumi yang kita huni saat ini dari hasil ledakan dahsyat sekitar 13,8 miliar tahun lalu.
Ledakan tersebut umumnya dikenal sebagai teori Big Bang. Dalam artikel tersebut juga disebutkan bahwa belakangan, beberapa peneliti berpendapat sejak dimulainya uji coba bom nuklir pada 1950 dan ledakan populasi manusia memasuki masa baru, yang dinamai Antroposen (masa manusia).
Pertumbuhan manusia naik signifikan. Mereka berpendapat dengan lebih dari 7 (tujuh) miliar jiwa, aktivitas manusia telah memengaruhi secara drastis perubahan alam dan kepunahan beberapa spesies binatang liar.
Dalam ungkapan Capra (1997) bahwa “untuk pertama kalinya kita dihadapkan pada ancaman kepunahan ras manusia nyata dan semua bentuk kehidupan di planet ini.”
Baca Halaman Selanjutnya..
Capra secara tersirat hendak menyampaikan bahwa semua ancaman itu begitu dekat di sekitar manusia melalui pencemaran udara yang mengancam kesehatan paru-paru, polusi air yang memicu penyakit, penggundulan hutan yang mengancam banjir dan longsor, teknologisasi dan industrialisasi yang memicu pemanasan global, dan lain-lain.
Secara kasuistik, baik kekhawatiran Capra maupun pernyataan sebelumnya menyangkut kepunahan tersebut menemukan momentumnya belakangan ini di negeri ini.
Beberapa kasus eksploitasi alam di Indonesia oleh korporasi pertambangan yang berdampak secara ekologis dan sosiologis yang menandai gejala kepunahan itu dapat dikemukakan antara lain:
Pertama, di Halmahera Tengah, Maluku Utara, sebagaimana dilansir Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) pada 2023 bahwa operasi pertambangan dan peleburan nikel telah mengancam hak-hak atas tanah, cara hidup tradisional, akses air bersih, dan kesehatan masyarakat. Warga mengeluhkan proses ganti rugi lahan yang tidak adil, memaksa mereka menjual lahan pertanian dan beralih profesi.
Kedua, terkait kerusakan ekologi di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara, di mana aktivitas pertambangan nikel di Pulau Kabaena telah menyebabkan kerusakan ekosistem pulau, mengganggu kehidupan masyarakat, dan meninggalkan dampak sosial yang mendalam.
Perusahaan tambang dituding tidak bertanggung jawab atas kerusakan yang mereka timbulkan, bahkan diduga menambang di kawasan hutan lindung.
Baca Halaman Selanjutnya..
Kondisi tersebut sebagaimana dilaporkan oleh timenews.co.id pada 22 November 2024 dalam sebuah tulisan oleh Azwen Fadley bertajuk “Krisis Ekologis dan Sosial di Kabaena: Tambang Nikel yang Merenggut Kesejahteraan Masyarakat Setempat.”
Ketiga, yaitu krisis pangan dan kekurangan gizi di Morowali, Sulawesi Tengah. Ekspansi industri nikel di Morowali telah menyebabkan kerusakan ekologis yang signifikan, mengakibatkan gagal panen dan krisis pangan.
Masyarakat adat (indigenous people), seperti suku Tau Taa Wana Posangke, mengalami kelaparan dan kekurangan gizi akibat hilangnya lahan pertanian subsistensi mereka. Hal tersebut sebagaimana dilansir dalam hutanhujan.org pada 2024.
Atau kasus lain misalnya, seperti yang dilaporkan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dalam walhi.or.id tahun 2022 di Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Wawonii, di mana terjadi kerusakan lingkungan akibat dari pertambangan nikel di pulau kecil.
Seperti Wawonii yang menimbulkan kerentanan serius terhadap bencana alam dan ancaman kenaikan air laut akibat krisis iklim. Aktivitas tambang di pulau ini telah menyebabkan kerusakan ekologis yang signifikan.
Beberapa contoh kasus tersebut di atas menandakan bahwa aktivitas pertambangan, terutama nikel, di Indonesia seringkali menghadirkan efek atau dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat lokal setempat.
Beberapa contoh kasus tersebut bukan tidak mungkin akan menambah deretan panjang kisah-kisah pilu tentang kepunahan massal itu. Sementra aktivitas eksploitasi alam tersebut kerap dilakukan secara sadar oleh pihak-pihak terkait atas nama hilirisasi.
Baca Halaman Selanjutnya..
Runyamnya, HMI baik secara personal apalagi institusional justru cenderung alpa merespons kondisi-kondisi krusial ini bersama masyarakat. Mengapa dan ada apa?
Terbinanya Insan Ekologis: Reinterpretasi terhadap Pasal 4 AD-HMI
Sardar (1985) mengemukakan bahwa krisis lingkungan atau ekologi adalah akibat dari krisis moral dan spiritual manusia, karena itu, krisis lingkungan mencakup pula krisis manusia termasuk fisik, psikis dan nilai-nilai yang menopang pandangan hidupnya.
Pernyataan tersebut bukan tidak mungkin dibangun dari kerangka pemikiran mendasar terkait paradigma etika lingkungan (environmental ethics paradigm).
Urgensi memahami paradigma ini terutama sekali sebagai upaya untuk mengurai realitas tentang tingkatan kesadaran ekologis. Tentu hal ini sekaligus menjadi penting untuk ditawarkan kepada para kader HMI pada umumnya, yang belum terlalu akrab dengan isu-isu lingkungan.
Keraf (2010) mengemukakan bahwa kerusakan lingkungan dewasa ini hanya bisa ditangani dengan transformasi yang fundamental dan radikal terhadap pola pikir dan pola tindak manusia terhadap alam, melalui etika lingkungan yang menuntun manusia pada model interaksi yang baru dengan alam semesta.
Sementara Kinne (2002) menyebutkan bahwa etika lingkungan mengacu pada pentingnya dinamika ekologi bagi semua bentuk kehidupan di bumi. Deformasi progresif dinamika ekologi dan sistem ekologi akibat aktivitas manusia menuntut etika yang berfungsi sebagai kekuatan pengendali.
Baca Halaman Selanjutnya..
Berdasarkan kedua argumen tersebut, maka secara umum diketahui bahwa terdapat tiga paradigma tentang etika lingkungan, sebagaimana diuraikan Munir (2023).
Pertama, antroposentrisme, yang menganggap manusia terpisah dan lebih unggul dari alam dan berpandangan bahwa kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik sementara entitas lain, seperti hewan, tumbuhan, sumber daya mineral, dan lain sebagainya adalah sumber daya yang dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan umat manusia.
Antroposentrisme merupakan paradigma etika lingkungan yang sangat instrumentalistik karena pola hubungan manusia dan alam dilihat hanya dalam hubungan instrumental.
Alam dinilai hanya sebagai alat untuk kepentingan manusia. Paradigma ini juga bersifat egois karena hanya mengutamakan kepentingan manusia. Paradigma inilah yang merepresentasi cerita tragedi ekologis di atas tentang kisah-kisah pilu tentang kepunahan.
Kedua, biosentrisme, yang menolak argumen paradigma antroposentrisme yang mengilhami manusia untuk menyelamatkan lingkungan dengan alasan bahwa lingkungan dan alam semesta dibutuhkan manusia untuk memenuhi kepentingannya. Bagi biosentrisme, alam juga memiliki nilai intrinsiknya sendiri terlepas dari kepentingan manusia.
Fokus perhatian dan yang dipertahankan oleh paradigma biosentisme adalah bahwa kehidupan di bumi ini memiliki nilai moral yang sama sehingga harus dilindungi dan diselamatkan. Paradigma ini mendasarkan moralitas pada keluhuran kehidupan, baik pada manusia maupun pada makhluk hidup lainnya.
Baca Halaman Selanjutnya..
Ketiga, ekosentrisme, yaitu kelanjutan dari etika lingkungan biosentrisme. Sebagai kelanjutan dari biosentrisme, ekosentrisme sering diserupakan dengan biosentrisme, karena banyak kesamaan di antara kedua paradigma ini.
Kedua paradigma ini mematahkan paradigma antroposentrisme yang membatasi penerapan etika hanya pada komunitas manusia. Keduanya memperluas penerapan etika untuk mencakup komunitas yang lebih luas.
Dalam biosentrisme, etika diperluas untuk mencakup komunitas biotis. Sedangkan dalam ekosentrisme, etika diperluas mencakup seluruh komunitas ekologis.
Berbeda dengan biosentrisme yang memusatkan etika hanya pada komunitas biotis, yakni pada kehidupan secara keseluruhan maka ekosentrisme memusatkan etika pada semua komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak.
Olah karena secara ekologis makhluk hidup dan benda abiotis lainnya saling berhubungan maka kewajiban dan tanggung jawab moral manusia tidak hanya tertuju pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.
Tepat pada posisi paradigmatik (baca: ekosentrisme) inilah HMI sejatinya harus mengambil peran dan sikap sebagai perisai keumatan dan kebangsaan dalam merawat keseimbangan ekologi, yakni menjadi komunitas atau insan ekologi itu sendiri.
Oleh sebabnya, sebagai penutup catatan reflektif ini, saya mengusulkan perubahan redaksi pada pasal 4 Anggaran Dasar (AD) HMI tentang tujuan HMI ditambahkan ‘insan ekologis’. Hal tersebut semata-mata sebagai ikhtiar bersama mencegah kepunahan massal ke-6. Selamat dies natalis ke-78 HMI! (*)