Site icon MalutPost.com

Maling di Kandang Tandus

Oleh: Fadli Ilham
(Koord I FKP Maluku Utara)

Gurita korupsi di Maluku Utara telah memantik pertanyaan filosofi, bukan lagi sekedar siapa dibalik itu? dengan menggunakan pendekatan ontologi, maka panah pertanyaannya apa yang salah di bumi Moloku Kie Raha?

Praktik korupsi di Maluku Utara yang cukup banyak, dapat digambarkan dengan term gurita. Karena memiliki jaringan korupsi yang cukup luas. Tindakan penyimpangan ini niscaya berdampak luas terhadap masyarakat. Terlebih lagi menghambat kemajuan daerah.

KPK merilis Maluku Utara sebagai provinsi dengan tingkat korupsi tertinggi di Indonesia berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024. Ironisnya, daerah yang dikenal cukup luas kawasan pertambangan itu masih termasuk dalam wilayah tertinggal. Termasuk dari aspek sarana dan prasarana.

Dibalik ketertinggalan pembangunan, tapi keseriusan otoritas wewenang masih langgeng dalam penyalahgunaan anggaran yang notabenenya dilakukan untuk mendorong kemajuan pembangunan daerah.

Tak ayal jika masyarakat patut pertanyakan apa motivasi maling (baca: koruptor) di kandang tandus masih merajalela. Term tandus digunakan sebagai metafora atas potret kondisi di Maluku Utara yang tidak subur dengan pembangunan. Tapi praktik maling uang rakyat semakin menganga.

Dengan pertanyaan siapa, maka praktik korupsi di Maluku Utara hanya akan berakhir pada konsekuensi hukum. Vonis atas kejahatan maling itu seakan tidak kebal. Terlepas dari kepastian hukum yang sepadan atau tidak, lembaga pemasyarakatan (Lapas) terkesan tidak lagi punya efek jerah.

Baca Halaman Selanjutnya..

Buktinya kasus maling uang rakyat di Maluku Utara terus bergelinding. Merampas uang rakyat tanpa memiliki rasa malu, dapat dikatakan sebagai perbuatan merenggut hak asasi manusia.

Di mana anggaran yang seharusnya untuk menunjang kebutuhan masyarakat, layanan kesehatan, kualitas pendidikan hingga aspek lainnya tapi digerogoti secara cuma-cuma.

Wajar saja jika Maluku Utara masih termasuk sebagai salah satu provinsi tertinggal, baik secara infrastruktur maupun suprastruktur. Ketertinggalan ini yang dimaksud dengan potret kandang tandus, di mana pembangunan yang tak kunjung memadai dan merata. Tapi gelagat maling terhadap uang rakyat seolah tak menghendaki dengan kondisi tersebut.

Kandang tandus di Maluku Utara sudah bertahun-tahun memiliki masalah serius. Keseriusan pemangku kepentingan seharusnya melihat ketertinggalan pembangunan itu sebagai penghambat kemajuan daerah. Sehingga terpacu mengejar ketertinggalan itu dengan semangat yang sama menghadirkan lingkungan yang bersih dari praktik korupsi.

Namun, keseriusan itu rupanya patut dipertanyakan, setelah rilis KPK menempatkan Maluku Utara sebagai provinsi paling korup. Itu menandakan, tindakan maling uang rakyat di kandang tandus seharusnya dibongkar akar masalahnya. Bukan sekedar dilimpahkan ke jalur hukum lalu menganggap selesai persoalan.

Masyarakat akan menantikan jawaban atas pertanyaan apa yang rusak dalam budaya pemerintahan? dan apa yang harus dilakukan setelah kasus demi kasus terus berulang?  Pertanyaan ontologi ini harus di atensi lebih cermat oleh pemangku kepentingan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Budaya pemerintahan yang tidak serius  menerjemahkan asas praktik korupsi sebagai kejahatan bersama, hanya akan melanggengkan kekuasaan sebagai ladang memenuhi hasrat oportunis.

Istilah azas yang dimaksud pernah diuraikan salah satu sastrawan legendaris Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Anak Semua Bangsa.

Kata Pram dalam percakapan novel tersebut, harus bertindak dan harus lawan terhadap mereka yang mengambil sebagian atau seluruh dari milikmu. Meski tidak spesifik terhadap praktik korupsi, karya Pram memiliki sasaran yang sama, memotivasi untuk tidak tinggal diam atas kejahatan yang merampas hak orang lain.

Pendekatan itu menggambarkan bahwa tindakan penyelewengan merupakan Extraordinary crime atau kejahatan luar biasa yang harus dilawan bersama. Termasuk pemangku kepentingan sebagai sentral yang memiliki azas secara regulatif untuk pemberantasan korupsi.

Pram dalam novel tersebut tidak hanya terpaku pada nilai yang direnggut. Tapi memberikan keteguhan yang paling mendasar untuk menunjukkan sikap keberpihakan, bahwa merampas hak orang lain adalah perbuatan kejahatan yang tidak boleh dibiarkan. Apalagi di-diam-kan.

Maling uang rakyat sebagai Extraordinary crime seharusnya terus diserukan di ruang-ruang diskusi pemangku kepentingan. Di atas meja-meja rapat pejabat. Di proyek-proyek tender kontraktor. Di setiap pangkal kebijakan.  Budaya Pemerintahan yang bersih harus konsisten dihidupkan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Kasus korupsi selama ini bisa dikatakan tidak ada sikap permenungan untuk dirumuskan dalam pencegahan dari sisi regulatif. Terlebih lagi syarat pemangku kebijakan yang bersih dari tindakan penyelewengan. Sedangkan pola penindakan masi  sebatas siklus; terus dan berulang-ulang.

Upaya pencegahan praktik korupsi oleh pemangku kepentingan dapat dilihat keseriusannya usai kasus tersebut telah masuk dalam ranah hukum. Apa yang dilakukan setelah itu, dan sejauh mana budaya pemerintahan bersih dari korupsi itu diimplementasi.

Sebaliknya, jika tindakan penyelewengan itu terus  menjamur, tapi pemangku kepentingan tidak memiliki sikap, setidaknya mengumumkan ke publik untuk melawan kejahatan luar biasa tersebut, maka rakyat patut menaruh kecurigaan.

Memastikan agar uang rakyat selama ini dari terik panas petani, dari hantamam ombak para nelayan hingga ancaman debu para pedagang kaki lima. Harus dipergunakan atas nama kepentingan rakyat.

Dengan begitu, perlu mendapat atensi yang serius. Sebagai upaya pemangku kepentingan menghentikan gelagat maling uang rakyat di kandang tandus yang sudah bertahun-tahun tertinggal. (*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Selasa, 11 Februari 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/02/selasa-11-februari-2025.html

Exit mobile version