Site icon MalutPost.com

Misi Ketiga Asta Cita dan Tantangan SDM

Oleh: Fachry Nahar, S.Ag,. MM
(Abna Alkhairaat Kalumpang Ternate, Mantan Aktivis HMI Cabang Ternate 1996-2001. ASN pada INSPEKTORAT Kota Ternate)

Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menetapkan Misi Asta Cita ketiga tentang meningkatkan lapangan kerja berkualitas, mendorong kewirausahaan, mengembangkan industri kreatif dan melanjutkan pengembangan infrastruktur merupakan cakupan yang cukup luas.

Tulisan ini hanya menyoroti tantangan SDM tenaga kerja yang sejatinya menjadi tumpuan keberhasilan misi ketiga Asta Cita melalui penyiapan infrastruktur utama dan pendukung, penguatan kurikulum dan pengembangan SDM yang inovatif, adaptif dan inklusif melalui peran lembaga pendidikan

Perguruan tinggi dan pendidikan pelatihan vokasi selaras dengan kebutuhan dunia usaha dan industri menghadapi persaingan tenaga kerja terampil bertalenta adalah tuntutan pasar tenaga kerja global

Sehingga diperlukan perbaikan sistem pendidikan secara menyeluruh baik sarana fasilitas, infrastuktur SDM tenaga pengajar, instruktur yang kompetabel agar tidak tergusur di arena kompetisi global yang cukup serius menghadang tenaga kerja kita saat ini.

Tuntutan tenaga kerja terampil bertalenta menjadi issu utama pasar tenaga kerja dan kebutuhan industri yang terus berkembang, membutuhkan SDM tenaga kerja berkualitas mutlak diperlukan.

Ditengah tuntutan kualitas tenaga kerja terampil memaksa setiap negara meningkatkan kualitas kompetensi tenaga kerja profesional agar mampu menghadapi tekanan persaingan global demi eksis dan survive.

Baca Halaman Selanjuntya..

Menuntut perbaikan sistem pendidikan yang menjamin peningkatan kompetensi melalui berbagai perbaikan kualitas pendidikan dan keterampilan vokasi yang selaras dengan kebutuhan industri sehingga terjaga konsistensi dan relevansinya dalam membaca tuntutan perubahan zaman.

Rendahnya pendidikan dan keterampilan tenaga kerja kita ditengah kompetisi tenaga kerja asing, ketidakpastian perubahan ekonomi, meningkatnya krisis iklim dipastikan akan mempengaruhi peta pasaran tenaga kerja.

Menurut Cacatan Kementerian Ketenagakerjaan RI yang dirilis Kompas pada 23 Januari 2025 menyebutkan terdapat 80.000 tenaga kerja terkena PHK pada tahun 2024 yang masi terbawa hingga tahun 2025 sehingga berpotensi menjadi penyumbang tingkat pengangguran dan kemiskinan.

Rendahnya SDM tenaga kerja Indonesia saat ini dipengaruhi beberapa faktor diataranys; (a) ketidaksesuain antara kurikulum pendidikan dan kebutuhan industri,

(b) belum selarasnya produk pendidikan berbasis kebutuhan dunia usaha dan industri serta belum terbangun formulsi pendidikan keterampilan vokasi yang membuka ruang eksplor siswa secara dinamis dan kompeten melalui pola riset mandiri yang mendorong praktek growth mindset mendinamisir kreatifitas siswa lebih kompetabel.

(c) rendahnya riset dan praktek pendidikan vokasional yang belum menjamin penyerapan di sektor industri, ditambah waktu tempuh pendidikan terbatas sehingga belum menjamin lulusan kejuaruan berkualitas profesional dapat terserap di dunia industri.

Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang di rilis Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah angkatan kerja pada Februari 2024 mencapai 149,38 juta orang. Angka ini naik 2,76 juta orang dibanding Februari 2023.

Baca Halaman Selanjuntya..

Dari jumlah angkatan kerja tersebut, penduduk yang bekerja pada Februari 2024 mencapai 142,18 juta orang, naik sebanyak 3,55 juta orang dibandingkan Februari tahun lalu. Sedangkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2024 sebesar 4,82% atau turun 0,63 poin persentase dibanding Februari 2023 (5,45 persen).

Kondisi pengangguran yang bergerak dinamis harus ditangani secara cepat, tepat dan solutif agar terkendali dan tidak menjadi ancaman pelemahan kinerja pemerintahan, meskipun terdapat kontraksi penurunan, namun masih menjadi pemicu utama penyumbang potensi kemiskinan yang memerlukan upaya penanganan secara terukur, terintegrasi dan holistik.

Penaganan secara terukur melalui kebijakan berbasis data yang mampu menyentuh substansi sehingga dapat mengurai skema penanganan tepat sasaran dan progresif ditopang penguatan kerjasama dengan lembaga pendidikan perguruan tinggi dan pendidikan pelatihan vokasi.

Dunia usaha dan industri berbasis kurikulum adaptif dan inovatif serta pengembangan berbagai stakholder dengan cakupan yang luas terukur dan terjangkau secara menyeluruh tidak terfragmentasi dan terkonsolidasi.

Semua sektor dan aktor pembangunan akan mempu mengawal pergerakan peningkatan SDM tenaga kerja secara bertahap dapat diarahkan sesuai kebutuhan pasar tenaga kerja ditingkat global.

Daya saing tenaga kerja ditingkat global masi rendah. Kondisi tersebut dapat dilihat dari berbagai capaian indeks daya saing seperti Indeks Pembangunan Manusia/Human Development Index (HDI), Global Innovation Index (GII) maupun Global Competitiveness Index (GCI).1 Untuk HDI, Indonesia menempati posisi ke-107 dari 189 negara.

Baca Halaman Selanjuntya..

Sementara, GII Indonesia berada pada posisi 87 dari 132 negara, dan GCI menempati posisi 50 dari 141 negara. Aspek pendidikan dan kesehatan sangat memengaruhi capaian berbagai indeks tersebut.

Antara Urgensi dan Relevansi
Keberadaan lembaga pendidikan baik perguruan tinggi maupun lembaga pendidikan pelatihan vokasional memiliki peran penting dan strategis sebagai laboratorium riset dan kajian, juga berfungsi sebagai rumah produksi intelektual mengemban misi pendidikan.

Penelitian dan pengabdian masyarakat (Tridharma Perguruan Tinggi) menjadi tumpuan penyiapan SDM dan penggerak akseslerasi peningkatan sumber daya manusia bagi dunia usaha dan industri.

Agar mampu memprakarsai tumbuhnya kewirausahaan bagi industri kreatif juga sebagai agen penyiapan sumber daya tenaga kerja, kini mengalami penurunan fungsi kualitas produk nyaris kehilangan relevansinya.

Potret ini mendesak pemerintah mengevaluasi dan koreksi total untuk menemukan kembali relevansi pendidikan sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.

Ini ditandai dengan masi terdapat 4,82 persen Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) terdidik pada tahun 2024 khususnya lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) berada di puncak piramida pengangguran yakni 8,62 persen disusul SMA 6,37 persen yang seluruhnya disebabkan ketidaksesuaian antara kompetensi lulusan dan kebutuhan industri.

Kondisi ketimpangan antara lulusan sarjana yang tidak sesuai kebutuhan pasar kerja menjadi problema utama selain sebagai faktor penghambat pertumbuhan ekonomi, juga ancaman terhadap upaya keluar dari perangkap Middle Incam Trap sekaligus berpotensi pada kontraksi pengangguran ditengah gejolak pasar tenaga kerja global yang semakin kompetitif.

Baca Halaman Selanjuntya..

Berdasarkan laporan Future of Jobs Report 2025 yang dimuat Kompas 05 Februari 2025 menyebutkan bahwa pertemuan Word Economic Forum (WEF) yang berlangsung di Davos Swiss pada 20-24 Januari 2025 melansir terciptanya 170 juta lapangan kerja baru diseluruh dunia, dan 92 juta pekerjaan lama akan hilang yang menekankan pentingnya kolaborasi global pada era kemajuan teknologi.

Ini adalah sinyalemen kuat yang mengirim pesan bahwa semakin terbukanya lapangan kerja baru yang akan menyerap tenaga kerja cukup banyak, serta ancaman hilangnya sebagian lapangan kerja mendorong sektor pendidikan dan lembaga pendidikan ketermpilan vokasi untuk melakukan transformasi total.

Selain menjawab kebutuhan dan tantangan juga menjadi sarana koreksi dan evaluasi menyeluruh bagi penyelarasan perubahan dan transformasi kurukulum, SDM Tenaga Pengajar, Instruktur untuk melakukan adaptasi, kolaborasi dan adopsi antara produk pendidikan dan kebutuhan industri yang lebih selaras, adaptif, inovatif, inklusif.

Untuk menyelaraskan kebutuhan tuntutan global tenaga kerja berbasis kompetensi yang menjadi indikator meningkatkan nilai urgensi bagi upaya menjawab permasalahan rendahnya kualitas tenaga kerja dan memperbaiki nilai kualitas produk pendidikan.

Agar tetap terjaga nilai relevansinya ditengah tekanan dan gempuran perubahan telah mendisrupsi berbagai sektor termasuk lembaga pendidkan dituntut unuk senantiasa meningkatkan mutu dan menyelaraskan tujuan dengan dunia usaha dan industri agar tetap relevan dengan kebutuhan yang diharapkan sebagai solusi menjawab harapan dunia kerja.

Menurut Prof Nizam Lembaga Perguruan Tinggi dan Lembaga Pendidikan Pelatihan Vokasi secepatnya melakukan transformasi dan adaptasi secara revolusioner.

Baca Halaman Selanjuntya..

Agar tidak kehilangan relevansinya ditengah tantangan disruspsi digitalisasi dan perubahan geopolitik, ekonomi dunia yang terus berpacu dengan kecepatan perubahan (Patrikc Dixon). Prinsip ini sejalan dengan konsep semua entitas selalu bergerak dinamis dan berubah (Heraklaitos).

Rendahnya indeks daya saing Indonesia juga ditunjukkan dari kualifikasi pendidikan angkatan kerja yang masih rendah, dimana 55,43 persen angkatan kerja penduduk Indonesia masih didominasi lulusan SMP ke bawah.

Sementara itu, daya saing perguruan tinggi di tingkat global juga masih rendah. Ini ditunjukkan dari peringkat kontribusi pendidikan tinggi dalam GII, pada pilar human capital and research yang masih berada pada peringkat 93 dari 132 negara (Subandi Sardjoko,2022).

Berdasarkan hasil survei Japan External Trade Organization (JETRO) 2023 terhadap 13.458 perusahaan di ASEAN (termasuk 614 perusahaan di Indonesia), produktivitas tenaga kerja Indonesia berada di posisi tujuh di bawah Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, Laos, dan Malaysia.

Data dari Asian Productivity Organization (APO) tahun 2023, di ASEAN Indonesia berada di urutan ke-5 di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand.

Kementerian Ketenagakerjaan melansir bahwa persentase produktivitas tenaga kerja Indonesia berada di angka 74,4%. Tingkat produktivitas ini berada di bawah rata-rata Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), yakni 78,2%. Negara-negara tetangga seperti Filipina (86,3%), Singapura (82,7%), Thailand (80,1%), dan Vietnam (80%).

Baca Halaman Selanjuntya..

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) lulusan SMK tertinggi mencapai 8,62 persen, diikuti lulusan SMA dengan 6,37 persen dengan penyebab utama adalah ketidakselarasan lulusan SMK dengan kebutuhan dunia usaha dan industri.

Kondisi ini mengindikasikan bahwa fungsi kemiteraan selama ini hanya dilaksanakan sebatas kerjasama formalistik saja, tanpa tercipta transformasi alih teknologi dan keterampilan, belum terbangun kesesuaian kurikulum pendidikan vokasi dengan kebutuhan industri yang bersifat menyeluruh, terintegrasi, holistik, berkelanjutan dan belum terbangun.

Kemampuan forcasting untuk membaca kecenderungan kebutuhan tenaga kerja dimasa depan belum terkelola secara profesional, sehingga dari tahun ke tahun produk pendidikan tinggi.

Maupun lembaga pendidikan pelatihan vokasi belum berfungsi sebagai penopang kebijakan distribusi tenaga kerja terampil dan penyokong pembangunan sumber daya manusia yang diharapkan berperan mengurai tingkat pengangguran dan mengendalikan potensi kemiskinan masih jauh dari harapan.

Permasalahan ini masi dilatarbelakangi penyebab pelemahan dan penurunan fungsi pendidikan tinggi dan lembaga pendidikan vokasi diantaranya;

(a) Masih kurangnya fasiltas pendukung SMK dan terdapat 80 persen bersatus swasta dipengaruhi minimnya sarana dan rendahnya kemitraan dengan dunia indsutri.

Baca Halaman Selanjuntya..

(b) Kurangnya literasi teknologi, literasi data dan pemahaman prilaku manusia, jiwa kewirausahaan menjadi faktor penyebab banyaknya lulusan SMK yang menganggur dan kurang bersaing di dunia kerja.

(C) Masih rendahnya kualitas profesionalime para guru, instruktur dan tenaga pengajar yang kurang memberi motivasi untuk mengeksplor potensi siswa dalam mengorkestrasi keterampilan terhadap masa depan.

Masih terpola dengan tradisi konvensional sebagai pemberi informasi dan pengetahuan dengan cara di framing (Fixed Mindset) tanpa memberi ruang berfikir bertumbuh (Growth Mindset) yang akhirnya kualitas produk belum mampu bersaing dengan kualitas tenaga kerja di pasar global.

Berpijak dari uraian diatas dengan kesenjangan yang cukup lebar antara keterampilan yang tersedia dan yang dibutuhkan dunia usaha dan industri berpusat pada urgensi peran dan kontribusi lembaga pendidikan tinggi dan lembaga vokasi berkolaborasi dengan Balai Latihan Kerja (BLK).

Lembaga Pelatihan Tenaga Kerja Swasta (LPTKS) bersama Pemerintah untuk menyelaraskan kembali kurukulum pendidikan kejuruan (SMK), Pendidikan Tinggi, Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Vokasional agar terbina sinergi dan kolaborasi untuk menjawab kesenjangan lulusan dan ketimpangan kebutuhan pasar tenaga kerja baik lokal, nasional maupun global.

Ini dilakukan melalui pola saling mengisi dan melengkapi kekurangan dan kebutuhan yang terbangun dengan pola konsorsium dan kerjasama terintegrasi untuk mengadopsi kurikulum industri yang diselaraskan dengan kurikulum pendidikan kejuruan dan pelatihan vokasi.

Baca Halaman Selanjuntya..

Agar tercipta kesesuaian dan penguatan maupun keterpaduan kurkulum yang adaptif, kompetabel, inovatif dan inklusif antara lembaga pendidikan kejuruan, perguruan tinggi, lembaga pendidikan keterampilan vokasi sesuai dengan kebutuhan industri terjaga nilai relevansinya dan mampu berkompetisi di pasar tenaga kerja global.

Oleh karena itu diperlukan transformasi menyeluruh sistem pedidikan kejuruan, pendidikan tinggi dan pelatihan vokasi berbasis industri dan kolaborasi yang dibaringi peningkatan keterampilan tenaga kerja baik secara teknis kognitif, maupun interpersonal demi menciptakan SDM tenaga kerja yang berdaya saing global.

Ini dilakukan melalui paradigma baru yang berfokus pada pendekatan people-centric dan purpose-centric sebagai strategi utama meningkatkan produktifitas dari sekedar labour menjadi human potential.

Transformasi ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan pribadi, kreativitas, dan inovasi, bukan hanya mengejar hasil produksi tetapi juga menitikberatkan pentingnya mengadopsi growth mindset di level individu dan organisasi untuk meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan kebutuhan dunia kerja.

Berpadu dalam kolaborasi lembaga pendidikan kejuruan, perguruan tinggi dan lembaga vokasional bersama dunia industri mendorong akselerasi kualitas SDM tenaga kerja lebih adaptif, inklusif dan progresif dapat diwujudkan selaras dengan misi ketiga Asta Cita yang bertumpu pada penguatan dan peningkatan kualitas SDM tenaga kerja berbasis industry masa depan.

Hal ini menjadi penting di tengah tantangan era Volatility (Berubah-ubah), Uncertainty (Tidak Pasti), Complexity (Komplex), and Ambiguity (Kabur), (VUCA). Untuk itu diperlukan sinergi dan kolaborasi semua stakeholder, aktor dan sektor pembangunan untuk menciptakan ekosistem tenaga kerja yang inklusif dan kompetitif menyongsong visi Indonesia emas 2045. Semoga……! (*)

Exit mobile version