Oleh: Herman Oesman
(Dosen Sosiologi FISIP UMMU)
“…kita memerlukan etika baru, tanggung jawab etik yang harus menyelamatkan lingkungan ini, …yakni gerakan merawat bumi, menjadikan lingkungan sebagai rumah bagi manusia…..” (Arne Naess, 1993)
Tulisan ini sebenarnya merupakan catatan lapangan sekaligus refleksi, saat melakukan penugasan bersama teman-teman ARC UI, ke Halmahera Tengah beberapa waktu lalu, tepatnya, 12/08/2024.
Sepanjang perjalanan yang hampir memakan waktu seharian itu, sejak dari Sofifi, Weda, Lelilef hingga berakhir di Sagea, tak dinafikan, Halmahera Tengah terus bergerak dinamis, terutama di kawasan industri Lelilef dan sekitarnya.
Halmahera Tengah, merupakan salah satu wilayah kaya di Maluku Utara yang memiliki potensi sumber daya alam melimpah terutama pertambangan nikel dan emas.
Keberadaan sumber daya ini telah menarik perhatian perusahaan ekstraktif untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi potensi tambang.
Pada 30 Agustus 2018, berdiri PT IWIP, yang kemudian ditetapkan sebagai Proyek Prioritas Nasional berdasarkan PERPRES No. 18 tentang RPJMN Tahun 2020-2024.
Baca Halaman Selanjutnya..
Berstatus sebagai Objek Vital Nasional berdasarkan Keppres No. 63 Tahun 2004. Di Maluku Utara, terdapat 127 izin usaha pertambangan, dengan total luas konsesi 655,581, 43 ha dan sebanyak 12 titik smelter (JATAM, 2024 : 5).
Perkembangan industri ekstraktif di Halmahera Tengah tak lepas dari peran regulasi pertambangan yang dikeluarkan Pemerintah (Pusat maupun Daerah).
Namun dalam perjalanannya, terdapat regulasi tumpang tindih dalam industri tambang (Halmahera Tengah) dan menjadi masalah cukup kompleks yang memberi dampak signifikan terhadap efektivitas pengelolaan sumber daya alam, konflik kepentingan, dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Terlebih setelah berlakunya UU Cipta Kerja, makin menguatkan peran negara, dan meminggirkan daerah dan masyarakat setempat.
Kehadiran kawasan industri ekstraktif ini dalam kurun waktu lima tahun terakhir, bukan tanpa masalah, terutama soal daya tahan lingkungan. Pada beberapa desa di Halmahera Tengah kerap dihantam banjir yang demikian memprihatinkan.
Berdasarkan kompilasi data media dan BPS, sejak 2019 hingga Juli 2024, tercatat sekitar 19 peristiwa banjir di wilayah Teluk Weda, Halmahera Tengah. Lalu, pada 28 Juli 2024, banjir melanda beberapa desa di Kecamatan Weda Tengah usai hujan deras selama dua hari.
Baca Halaman Selanjutnya..
Sungai Kobe pun meluap, merendam permukiman di desa-desa tersebut. Kondisi terparah terjadi di Desa Luko Lamo dan Lelilef, genangan air hampir mencapai dua meter, tatkala banjir menyerang pada 12-13 Agustus 2024.
Memang, pemberian izin tambang di Halmahera Tengah kurang memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat setempat.
Perusahaan tambang begitu mudah memperoleh izin, tetapi proses pengawasan terhadap dampak lingkungan dan sosialnya tidak berjalan secara optimal.
Potensi degradasi lingkungan yang tinggi dan merugikan masyarakat lokal begitu terbuka menganga. Sementara kehadiran industri ekstraktif, terutama nikel, telah menciptakan peluang ekonomi baru dengan hadirnya lapangan kerja dan infrastruktur.
Namun, dampak ini tidaklah seragam berlaku di seluruh lapisan masyarakat. Banyak masyarakat lokal terpaksa melepaskan lahan mereka untuk dijadikan area tambang atau fasilitas pendukung industri lainnya.
Dampak kehilangan lahan ini menyebabkan masyarakat tak hanya kehilangan sumber penghidupan tetapi juga koneksi budaya dengan tanah mereka.
Baca Halaman Selanjutnya..
Transisi Energi dan Masyarakat Adat
Gerakan transisi energi global menuju sumber energi terbarukan dan rendah karbon telah menjadi salah satu agenda utama dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Tetapi, proses ini kerap berdampak bagi masyarakat adat yang hidup di wilayah-wilayah kaya akan sumber daya alam, termasuk hutan, sungai, dan mineral.
Masyarakat adat, acapkali bergantung pada lingkungan alam untuk kelangsungan hidup budaya dan ekonomi mereka, menghadapi tantangan eksistensial akibat proyek-proyek energi berskala besar seperti pembangunan pertambangan mineral untuk energi terbarukan.
Transisi energi sebagai proses tidak hanya melibatkan teknologi tetapi juga perubahan struktural dalam hubungan sosial dan ekonomi. Dalam konteks transisi energi, masyarakat adat yang mendiami wilayah Halmahera Tengah menghadapi tantangan serius.
Banyak dari mereka yang merasa bahwa proses transisi energi ini mengabaikan hak-hak mereka atas tanah adat. Masyarakat adat memiliki sistem nilai, pengetahuan lokal, dan praktik pengelolaan sumber daya yang unik, namun kerap diabaikan dalam kebijakan pemerintah maupun industri.
Akibatnya, ketidaksetaraan dalam akses terhadap keuntungan industri ekstraktif dan keputusan mengenai penggunaan lahan mengakibatkan munculnya ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan perusahaan yang beroperasi di sana.
Baca Halaman Selanjutnya..
Terjadi marginalisasi masyarakat adat dalam transisi energi, menciptakan ketegangan sosial yang dapat mengganggu stabilitas sosial dan politik di wilayah tersebut.
Pada satu sisi, meskipun energi terbarukan oleh sebagian kalangan dianggap ramah lingkungan, namun pada sisi lain, pembangunannya merusak ekosistem lokal. Pembangunan industri yang massif ikut mengganggu habitat alami dan sumber daya yang dimanfaatkan masyarakat adat untuk lingkungan yang sehat.
Hal lain, transisi energi kerap dilakukan tanpa melibatkan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan. Akibatnya, kondisi ini dapat memperparah marginalisasi sosial dan budaya masyarakat adat, termasuk pengabaian pengetahuan tradisional dan hak-hak mereka (masyarakat adat).
Kaitan dengan ini, Mark Z. Jacobson (2017) salah satu pendukung transisi energi terbarukan, dalam artikelnya, menunjukkan bahwa transisi ke energi terbarukan tidak hanya mungkin, tetapi juga dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesehatan masyarakat, dan mengurangi biaya energi dalam jangka panjang.
Selanjutnya, menurut penulis dan aktivis lingkungan, Naomi Klein (2019), transisi energi harus dilakukan dengan keadilan sosial. Menurut Klein, transisi energi tidak boleh terfokus pada teknologi, tetapi harus memastikan, masyarakat paling rentan terhadap dampak perubahan iklim dan pekerja di industri fosil tidak tertinggal.
Energi terbarukan memang telah menjadi tumpuan harapan dan impian masyarakat dunia, namun juga tak bisa dinafikan, betapa kuatnya nafsu dan praktik ekstrativisme yang telah memporak-porandakan masa depan lingkungan. Dengan kondisi ini, menjadi tanda tanya besar : “masih adakah masa depan bagi wilayah pulau?”. (*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Senin, 10 Februari 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/02/senin-10-februari-2025.html