Catatan

Transisi Energi, Praktik Ekstraktivisme, dan Masa Depan Wilayah Pulau

Terjadi marginalisasi masyarakat adat dalam transisi energi, menciptakan ketegangan sosial yang dapat mengganggu stabilitas sosial dan politik di wilayah tersebut.

Pada satu sisi, meskipun energi terbarukan oleh sebagian kalangan dianggap ramah lingkungan, namun pada sisi lain, pembangunannya merusak ekosistem lokal. Pembangunan industri yang massif ikut mengganggu habitat alami dan sumber daya yang dimanfaatkan masyarakat adat untuk lingkungan yang sehat.

Hal lain, transisi energi kerap dilakukan tanpa melibatkan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan. Akibatnya, kondisi ini dapat memperparah marginalisasi sosial dan budaya masyarakat adat, termasuk pengabaian pengetahuan tradisional dan hak-hak mereka (masyarakat adat).

Kaitan dengan ini, Mark Z. Jacobson (2017) salah satu pendukung transisi energi terbarukan, dalam artikelnya, menunjukkan bahwa transisi ke energi terbarukan tidak hanya mungkin, tetapi juga dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesehatan masyarakat, dan mengurangi biaya energi dalam jangka panjang.

Selanjutnya, menurut penulis dan aktivis lingkungan, Naomi Klein (2019), transisi energi harus dilakukan dengan keadilan sosial. Menurut Klein, transisi energi tidak boleh terfokus pada teknologi, tetapi harus memastikan, masyarakat paling rentan terhadap dampak perubahan iklim dan pekerja di industri fosil tidak tertinggal.

Energi terbarukan memang telah menjadi tumpuan harapan dan impian masyarakat dunia, namun juga tak bisa dinafikan, betapa kuatnya nafsu dan praktik ekstrativisme yang telah memporak-porandakan masa depan lingkungan. Dengan kondisi ini, menjadi tanda tanya besar : “masih adakah masa depan bagi wilayah pulau?”. (*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Senin, 10 Februari 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/02/senin-10-februari-2025.html

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...