Site icon MalutPost.com

Hasil Kerajinannya Tembus Pasar Dubai dan Prancis

TELATEN: ASMAN ALI masih sibuk mempersiapkan pembangunan pendopo di kawasan wisata Cengkeh Afo, Tongole

Industri pengolahan bambu memiliki peluang ekonomi yang tinggi, bahkan peminatnya sampai tingkat internasional. Ironisnya, perajinnya terus berkurang kini tinggal enam orang.

Malutpost.com — Tanaman bambu, termasuk tanaman yang mudah tumbuh, karena itu jumlahnya berlimpah. Tanaman yang termasuk dalam jenis rerumputan itu berpotensial dan bernilai jual, karena memiliki fungsi yang sama dengan kayu.

Bisa dijadikan bahan dasar bangunan seperti rumah, bahkan di tangan orang yang terampil bambu bisa diubah menjadi furnitur ataupun aksesoris yang bernilai ekonomi tinggi.

Di Malut, khususnya di Kota Ternate ada daerah yang memang dikenal dengan tempat perajin bambu, yaitu di Kelurahan Tongole.

Kelurahan yang terletak Kecamatan Ternate Tengah ini, sudah dikenal turun temurun sebagai penghasil kerajinan bambu, dengan motifnya bambu lurik.

Kursi Bambu hasil buatan Asman Ali Pengrajin Bambu Tongole

Berbagai produk dihasilkan, kursi, meja, vas bunga, hiasan lampu, termasuk aksesoris seperti gantungan kunci bisa ditemukan di sini.
Dulu, banyak perajin bambu bisa ditemukan di perkampungan yang terletak di dataran tinggi Pulau Ternate ini.

Karena hampir semua laki-laki yang lahir dan dibesarkan di sana, mampu merakit batang bambu yang bentuknya lurus itu, menjadi kebutuhan rumah tangga. Itu karena, keahlian mereka turun-temurun.

Selain karena, bambu sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang tumbuh di sekitar tempat tinggal, juga saat ada satu bapak mengolah bambu, anak-anaknya yang selalu bersama mereka akan melihat, atau bahkan terlibat langsung membantu, dengan demikian transfer ilmu akan terjadi.

Baca Halaman Selanjutnya..

Namun, itu sekitar tahun 90-an. Kini, kondisinya mulai berubah. Sebab, meski masih punya pengetahuan anak-anak mulai sibuk dengan dunianya sendiri sekolah atau ingin beralih profesi lain yang menurut mereka lebih menjanjikan, seperti menjadi PNS dan pekerja kantoran lainnya.

Dan setelah tahun 2000-an perajinnya makin menipis. Jangankan punya insting, generasi muda atau generasi Z di Kelurahan Tongole, bahkan tak ada yang tahu mengolah batang bambu menjadi barang yang bentuknya sederhana sekalipun seperti meja.

“Bahkan saya sudah bikin pelatihan berulang kali tapi tidak ada anak muda yang berniat mengikutinya,” tutur Asman Ali, salah satu perajin Bambu Tongole saat disambangi Malut Post, Selasa (4/2).

Asman yang tengah sibuk membuat pendopo di lokasi wisata Cengkeh Afo itu mengaku, kecenderungan anak muda sekarang, enggan memegang perkakas dan merakit bambu karena memakan waktu dan agak ribet, dibandingkan dengan pekerjaan lain, yang menurut mereka lebih simpel. Padahal, kalau dilihat profesi perajin bambu masih sangat menjanjikan.

“Di Tongole ini dulu banyak perajin bambu, tapi sekarang tinggal sedikit atau hanya 6 orang yang tersisa salah satunya adalah saya. Semua pengrajin bambu orang tua,”tutur pria yang akrab disapa Ali sambil begitu telaten memanfaatkan perkakas di tangannya untuk menyiapkan kebutuhan pembangunan pendopo di tempat wisata yang baru di kawasan Cengkeh Afo itu.

Dia sudah mulai belajar merakit bambu sejak SD, namun baru memanfaatkannya sebagai ladang ekonomi keluarga, sekitar tahun 1987 atau setelah ditinggal sang ayah 30-an tahun silam.

Berbekal pengalaman dan pengetahuan yang sudah tertanam sedari kecil, dipadukan dengan pengetahuan tambahan melalui pelatihan di berbagai daerah tentang inovasi dan kreasi mengolah bambu yang lebih modern, membuat hasil rakitannya bukan kaleng-kaleng.

Baca Halaman Selanjutnya..

Tak hanya berkualitas, karena dari bambu pilihan yaitu jenis bambu cina (Bambusa Multiplex) yang bermotif. Begitu juga bentuknya tak kalah menarik dan modern. Kursi dan meja makan dari bambu, kursi santai, lemari dan berbagai furniture gantungan kunci, bingkai foto dan vas bunga semuanya itu tak hanya simpel tapi terlihat menarik.

Saking menariknya, hasil kerajinan tangan Ali yang hanya lulusan SD ini, bahkan menjadi Produk Indonesia yang dipamerkan dalam Pameran bambu Dubai, Uni Emirat Arab pada 1999 dan medio 2020 di Prancis. Di Negeri Model itu, Ali juga diundang datang tapi, terkendala Covid-19 dia tak bisa datang.

Kualitas dan bentuk dari produk kerajinan Ali, bukan hanya dari motif dan bentuk saja, tapi yang lebih khas adalah saat pembuatannya dia juga menggunakan tradisi dari leluhur, seperti waktu memotong bambu yang tidak sembarangan, ada hitungan waktu sesuai dengan benda langit.

“Bambu baru bisa diambil di akhir bulan dan saat air laut surut. Itu untuk menjaga kualitas bambu,” terang bapak lima anak itu.

Menurutnya, bambu yang diambil saat awal bulan lebih gampang busuk jadi kualitasnya kurang bagus. Tak hanya itu, setelah dipotong bambu tak langsung dipakai tapi masih harus melalui tahapan lain, yakni dijemur.

“Kemudian menjemurnya hingga mengering baru dirangkai menjadi berbagai perabotan rumah tangga. Kalau dulu alat yang digunakan hanya gergaji, parang dan tali, namun seiring perkembangan zaman saya sudah pakai alat modern,” tambahnya.

Ali yang masih sering nyambi mengurus kebun juga lokasi wisata Cengkeh Afo ini mengaku, dalam sebulan bisa menghasilkan tiga set perabotan bersama lima perajin lainnya yang masuk dalam kelompok.

Baca Halaman Selanjutnya..

“Kalau saya sendiri satu set perabotan (meja dan kursi) bisa selesai dalam waktu 10 hari,” katanya.

Untuk harga jualnya pun masih lumayan, untuk satu set dijual dengan harga Rp2,7 juta, sedangkan ongkos produksi sekitar Rp1 jutaan. Penjualnnya masih fluktuatif.

Namun dalam setahun Ali dan kelompoknya bisa mendapatkan Rp60 juta. Pemasarannya, selain langsung di lokasi juga dititip di swalayan Tara No Ate.

“Hasil penjualan ini saya pakai untuk menyekolahkan anak sampai lulus SMA, dan kebutuhan makan minum sehari-hari,”tutur pria paruh baya itu sambil tetap serius bekerja.

Di usia yang sudah senja, Ali khawatir suatu saat tidak ada generasi penerus yang bisa melanjutkan tradisi mengolah bambu. Karena anak muda saat ini sudah tidak mau melanjutkan tradisi yang turun temurun diwariskan.

Ia berharap ada kebijakan pemerintah kota mendorong anak muda untuk terus melanjutkan tradisi mengolah bambu menjadi perabotan rumah tangga.

“Mengolah bambu bukan sekadar untuk meraup rupiah, namun lebih dari itu merupakan tradisi yang harus terus dijaga. Sebab mengolah bambu bagian dari menjaga alam tetap lestari,” pesannya. (mg-01/nty)

Fadli Kayoa
Ternate

Exit mobile version