Oleh: Rifan Basahona
(Sekjen KAMMI Kota Ternate)
Pilkada merupakan sebuah ikhtiar demokrasi eloktoral yang telah diamini secara saksama, dalam perundang undangan pilkada adalah sebuah mekanisme serta proyeksi kepemimpinan.
Selain sebagai mekanisme dan proyeksi kepemimpin, pilkada juga sebagai ajang evaluasi kepemimpinan yang telah berjalan sebelumnya, sehingga proses pilkada adalah sebuah ajang normatif.
Pilkada adalah sebuah pesta normatif bagi rakyat maka seharusnya sikap merdeka serta bebas bagi rakyat sebagai pemilih harus di junjung tinggi.
Di samping itu harus adanya sikap yang benar-benar adil bagi setiap individu serta komponen yang menjadi penyelengara.
Karena sebagai mekanisme efaluasi serta proyeksi kepemimpinan, pilkada harus menjadi ajang yang menjunjung tinggi asas dan prikehidupan yang baik, serta menaati aturan dan hukum yang berlaku dalam kehidupan sosial.
Rakyat berhak dan merdeka dalam menentukukan pilihannya masing-masing, tidak ada paksaan serta intimidasi dari pihak manapun, rakyat harus riang gembira dalam menunaikan haknya.
Baca Halaman Selanjutnya..
Tidak boleh ada mobilisasi serta konsolidasi politik dari setiap kandidat yang melibatkan isu sara kekerasan ancaman serta money politic/politik uang yang dapat menodai hak-hak rakyat.
Pilkada harus memposisikan sikap jujur adil, serta toleran setinggi mungki, sehingga dikemudian hari tidak ditemukan kecacatan yang berujung pada pecah belah di kalangan masyarakat.
Situasi serta kondisi yang di gambarkan diatas yang seharusnya menjadi keiinginan secara bersama dalam setiap praktek politik, sehingga dapat melahirkan pemimpin yang berkualitas serta berintegritas.
Namun hingga hari ini apa yang menjadi harapan serta keinginan secara saksama belum terrealisasi secara baik. Karena masi rentan terjadi praktek-praktek politik yang tidak sesuai dengan kehendak demokrasi.
Rakyat belum merdeka dalam memilih, masi ada intimidasi, paksaan dan money politic/politik uang, serta isu sara yang mendominasi praktek politik hari-hari ini.
Sehingga tidak salah jika akhir dari pilkada tidak menimbulkan efek yang baik, malah seusai pilkada memicu perpecahan dalam masyarakat, saling hujat, serta adu jotos, yang mencederai nilai-nilai sosial serta persatuan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Kini telah terbuki pilkada yang baru dilewati beberapa bulan kemarin memicu konflik-konflik yang berujung pada melemahnya sikap toleran, persatuan, serta terjadi ketegangan sosial dalam masyarakat, dan pilkada selalu saja diputuskan oleh Mahkama Konstitusi bukan kehendak murni dari suara rakyat.
Problem serta kesenjangan politik yang sering terjadi diatas tentunya sangat memperihatinkan, dan ini menjadi PR besar bagi kita semua terutama para pemimpin yang terpilih.
Pemimpin yang terpilih harus mengedapankan sikap simpati bukan antipati, terbuka serta toleran terhadap semua kalangan maupun golongan yang ada termasuk rifalnya.
Upaya rekonsiliasi harus dikedepankan agar masyarakat kembali bersatu, karena tanggungjawab kandidat yang terpilih tidak hanya merealisasikan janji-janji kampanye, tapi menjadi pemempin semua masyarakat termasuk yang tidak memilihnya.
Kebijakan yang inklusif dan adil dapat membantu meredakan ketegangan yang terjadi. Sebaliknya, kandidat yang kalah diharapkan menerima kekalahan dengan sikap legawa, serta lapang dada.
Kekalahan bukanlah akhir dari karier politik, melainkan kesempatan untuk melakukan evaluasi dan memperkuat basis politik di masa depan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Ketegangan-ketegangan yang di alami dalam pilkada kemarin harus di usaikan Mahkama Konstitusi suda menetapkan siapa pemenangnya, yang kalah harus menerima,yang menang tidak usa bergembira yang berlebihan.
Mari saling kerja sama karena pada hakikatnya pilkada adalah ajang mencari pemimpin yang akan menahkodai setiap daerah lima tahun kedepan, bukan ajang untuk mencari lawan lima tahun kedepan.
Harapan ini tentunya tidak terwujud jika tidak dimulai hari ini, mari mengoreksi diri masing-masing serta menjunjung tinggi rasa persatuan serta toleransi, mempukuk kembali persatuan dan kembali kepada asas gotong royong untuk membangun daerah masing-masing.
Yang kala bukan berarti tidak memiliki ruang untuk membangun daerah atau negaranya, yang menang juga belum tentu dapat merealisasikan semua janji-janji kampanye.
Karena pada hakikatnya suatu daerah serta negar bisa maju jika dihiyasi dengan rasa persatuan dan kerja sama diantara semua pihak. (*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Kamis, 6 Februari 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/02/kamis-6-februari-2025.html