Site icon MalutPost.com

Upaya Mewujudkan Mission HMI

Mohtar Umasugi

Oleh: Mohtar Umasugi
(Penulis adalah Alumni HMI Cabang Ternate, kini sebagai Koordinator Presidium MD KAHMI Kepulauan Sula)

Prolog

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah salah satu organisasi kemahasiswaan tertua di Indonesia yang memiliki peran strategis dalam mencetak generasi intelektual dan pemimpin bangsa.

Sebagai organisasi kader, HMI memiliki tujuan yang tertuang dalam misinya, yaitu “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah SWT”.

Namun, dalam perjalanan merealisasikan misi tersebut, dinamika internal sering kali menjadi tantangan tersendiri, termasuk dalam momentum konferensi cabang seperti yang terjadi di HMI Cabang Ternate.

1. Konferensi Sebagai Ruang Konsolidasi

Konferensi cabang merupakan forum tertinggi dalam struktur organisasi HMI di tingkat cabang. Di sini, berbagai gagasan, evaluasi, dan rekomendasi strategis dirumuskan.

Namun, tak jarang konferensi juga menjadi arena kontestasi yang sarat dengan tarik-menarik kepentingan, baik dari sisi ideologis, politis, maupun personal.

Dinamika seperti ini tampak dalam konferensi HMI Cabang Ternate, yang kerap menjadi cermin dari keberagaman pandangan para kadernya.

Baca Halaman Selanjutnya..

Meski demikian, semangat kolektif harus tetap menjadi prioritas utama. Konferensi bukan hanya soal memilih pemimpin baru, tetapi juga menentukan arah gerakan organisasi ke depan.

Pemilihan kepengurusan yang kompeten dan berintegritas adalah langkah awal dalam memastikan bahwa misi HMI dapat terus diimplementasikan secara efektif.

Konferensi dalam tubuh HMI bukan sekadar forum rutin yang diadakan untuk memilih kepengurusan baru, tetapi juga merupakan ruang strategis untuk melakukan konsolidasi organisasi.

Perspektif alumni HMI, yang telah matang secara pengalaman organisasi maupun kontribusi di masyarakat, memberikan wawasan mendalam tentang pentingnya konferensi sebagai wadah penguatan nilai-nilai kaderisasi dan pembaruan strategi organisasi.

Para alumni sering menekankan bahwa konferensi memiliki makna fundamental dalam menjaga kontinuitas perjuangan organisasi. Dalam sebuah konferensi, seluruh elemen kader, mulai dari tingkatan komisariat hingga cabang, berkumpul untuk menyelaraskan visi dan misi HMI.

Menurut Dr. Anies Baswedan, konferensi adalah ruang refleksi untuk mengukur sejauh mana organisasi telah bergerak sesuai dengan misinya: membina insan akademis, pencipta, dan pengabdi.

Baca Halaman Selanjutnya..

Ia mengingatkan bahwa konferensi harus diarahkan pada pembahasan substansi organisasi, bukan sekadar ritual formalitas atau ajang kontestasi politik internal. Alumni lain, seperti Prof. Azyumardi Azra, menekankan bahwa konferensi HMI harus menjadi laboratorium kepemimpinan inklusif.

Dalam pandangannya, pemimpin yang dihasilkan dari forum ini tidak hanya memiliki kompetensi teknis, tetapi juga kemampuan menyatukan berbagai pandangan. “HMI tidak boleh menjadi organisasi yang terjebak pada ego kelompok atau faksionalisme,” ujarnya.

Pemimpin hasil konferensi harus mampu menjawab tantangan zaman dengan inovasi tanpa kehilangan akar ideologis Islam. Untuk itu, para alumni mengusulkan bahwa agenda konferensi perlu mencakup pelatihan kepemimpinan berbasis integritas dan kolaborasi lintas sektor.

Tradisi intelektual adalah salah satu pilar utama dalam misi HMI. Para alumni mengingatkan bahwa konferensi harus menjadi ruang untuk memantik diskusi-diskusi strategis tentang perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan dinamika sosial-politik.

Sebagai contoh, Nurcholish Madjid, selalu menekankan pentingnya menjadikan forum HMI sebagai ruang dialektika ide. Menurutnya, tanpa tradisi intelektual yang kuat, organisasi hanya akan bergerak secara pragmatis dan kehilangan arah perjuangan.

Dari perspektif alumni, konferensi bukan hanya ruang untuk menyusun struktur organisasi baru, tetapi juga sarana strategis untuk melakukan konsolidasi visi, membentuk pemimpin inklusif, dan memperkuat tradisi intelektual.

Baca Halaman Selanjutnya..

Konferensi HMI Cabang Ternate, misalnya, memiliki peluang besar untuk tidak hanya mencetak kader berintegritas, tetapi juga melahirkan program kerja yang relevan dengan tantangan lokal maupun global.

2. Tantangan Internal dan Eksternal

HMI Cabang Ternate, sebagai bagian dari organisasi yang lahir untuk merawat nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan, menghadapi tantangan yang kompleks di era modern. Secara filosofis, tantangan ini dapat didekati melalui dialektika antara aspek internal dan eksternal yang membentuk dinamika organisasi.

Dalam tataran internal, HMI dihadapkan pada pertanyaan fundamental tentang keberlanjutan identitas dan esensi perjuangan organisasi. Tantangan ini mencakup:

a. Krisis Kaderisasi: Filosofisnya, kaderisasi adalah jiwa organisasi. Namun, penguatan moral dan intelektual kader sering kali terganjal oleh pragmatisme. Tantangan ini memunculkan dilema antara menjaga idealisme perjuangan dan merespons realitas.

b. Disorientasi Nilai: Perubahan zaman sering kali mengguncang akar nilai-nilai dasar HMI. Di tengah derasnya arus modernitas dan materialisme, organisasi perlu mempertanyakan kembali makna “insan cita” sebagai landasan spiritual dan intelektual.

c. Fragmentasi Internal: Perbedaan ideologi di antara anggota menciptakan polarisasi. Filosofisnya, ini mencerminkan benturan antara kepentingan kolektif dan egoisme individu, yang menguji kapasitas organisasi untuk mengelola keragaman.

Baca Halaman Selanjutnya..

Secara eksternal, HMI dihadapkan pada dinamika sosial-politik dan kebudayaan yang terus berubah. Tantangan ini antara lain:

a. Relevansi di Era Digital: HMI perlu menegaskan eksistensinya di tengah transformasi teknologi dan digitalisasi. Tantangannya adalah bagaimana memanfaatkan teknologi untuk memperkuat dakwah dan advokasi tanpa kehilangan
jati diri.

b. Tekanan Sosial-Politik: Sebagai organisasi independen, HMI sering berada dalam persimpangan politik praktis. Filosofisnya, ini adalah ujian tentang sejauh mana HMI dapat tetap menjadi kekuatan moral tanpa terseret arus pragmatisme politik.

c. Dekadensi Moral dalam Masyarakat: Kemunduran moral dan spiritual di lingkungan sosial menjadi tantangan bagi HMI untuk tetap menjadi agen perubahan. Ini membutuhkan keberanian untuk menjadi penjaga nilai di tengah krisis identitas kolektif.

Dalam menghadapi tantangan ini, HMI Cabang Ternate perlu menghidupkan kembali semangat filosofis dari “teori aksi reflektif.” Artinya, setiap langkah harus berakar pada refleksi mendalam atas nilai-nilai keislaman dan nasionalisme, sembari menyesuaikan diri dengan konteks zaman.

Konsolidasi internal harus didorong oleh niat tulus untuk memperkuat ukhuwah, sementara aksi eksternal harus diarahkan pada pembentukan masyarakat yang adil, makmur, dan beradab.

Baca Halaman Selanjutnya..

Sebagaimana filsuf mengatakan, “Krisis adalah jalan menuju kebijaksanaan,” maka setiap tantangan ini adalah peluang bagi HMI untuk menemukan kembali makna perjuangannya dalam lintasan sejarah.

3. Menghidupkan Kembali Spirit Mission HMI

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lahir dengan misi besar yang mencakup pembinaan intelektual, spiritual, dan keumatan. Semangat ini terinspirasi oleh filosofi keberagamaan dan kebangsaan yang harmonis, sebagaimana tercermin dalam asas Islam dan komitmen untuk turut mencerdaskan kehidupan bangsa.

Namun, perjalanan sejarah menunjukkan bahwa semangat ini kadang mengalami pasang surut akibat dinamika internal maupun tantangan eksternal. Oleh karena itu, upaya untuk menghidupkan kembali misi HMI memerlukan analisis mendalam yang berakar pada nilai-nilai filosofis.

a. Eksistensi dan Identitas. Dalam konteks filsafat eksistensialisme, HMI sebagai organisasi mahasiswa memiliki tanggung jawab untuk terus merefleksikan identitasnya. Sebagaimana gagasan Jean-Paul Sartre tentang eksistensi mendahului esensi, misi HMI hanya dapat dihidupkan kembali jika setiap kader secara sadar menghidupi nilai-nilai organisasi tersebut. Ini berarti, setiap individu harus menginternalisasi nilai keislaman, kebangsaan, dan keilmuan, bukan sekadar menjalankannya sebagai rutinitas formalistik.

b. Epistemologi Keilmuan. Misi HMI mencakup pengembangan intelektualitas yang berbasis pada keilmuan. Dalam perspektif epistemologi Islam, ini mencakup integrasi antara ilmu wahyu (revelasi) dan ilmu akal (rasio). Upaya menghidupkan kembali semangat ini harus dimulai dari pembaruan sistem kaderisasi yang tidak hanya mendorong penguasaan ilmu pengetahuan modern, tetapi juga pemahaman mendalam tentang nilai-nilai Islam sebagai panduan moral.

c. Etika dan Tanggung Jawab Sosial. HMI lahir dari kegelisahan terhadap kondisi umat dan bangsa. Dalam konteks filsafat moral Immanuel Kant, setiap tindakan organisasi harus berorientasi pada prinsip kewajiban moral universal, yaitu bekerja untuk kemaslahatan umat. Menghidupkan kembali misi HMI berarti memastikan organisasi ini tetap menjadi agen perubahan sosial yang berkeadilan dan proaktif dalam menjawab tantangan zaman.

Baca Halaman Selanjutnya..

d. Dialektika Perubahan. HMI tidak boleh terjebak dalam romantisme masa lalu. Dalam kerangka dialektika Hegel, organisasi ini harus terus bertransformasi melalui sintesis antara nilai-nilai dasar HMI dan kebutuhan zaman. Ini mencakup keberanian untuk melakukan kritik internal sekaligus adaptasi terhadap tantangan globalisasi, teknologi, dan perubahan sosial.

e. Spirit Transendensi. Filosofi Islam mengajarkan pentingnya hubungan manusia dengan Tuhan (habluminallah) sebagai basis perjuangan. Menghidupkan kembali semangat mission HMI berarti kembali menempatkan nilai transendensi ini sebagai landasan utama. Ini harus tercermin dalam spiritualitas kader yang mendorong mereka untuk menjadi pemimpin-pemimpin yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berakhlak mulia.

Menghidupkan kembali semangat mission HMI bukan sekadar soal merestorasi simbol-simbol organisasi, tetapi lebih pada proses mengembalikan ruh perjuangan yang berlandaskan nilai-nilai filosofis.

Dengan menyatukan pemikiran, moralitas, dan aksi nyata, HMI dapat kembali menjadi organisasi yang relevan dan berkontribusi bagi umat dan bangsa, sesuai dengan semangat pendiriannya.

Filosofi Islam mengajarkan pentingnya hubungan manusia dengan Tuhan (habluminallah) sebagai basis perjuangan. Menghidupkan kembali semangat mission HMI berarti kembali menempatkan nilai transendensi ini sebagai landasan utama.

Ini harus tercermin dalam spiritualitas kader yang mendorong mereka untuk menjadi pemimpin-pemimpin yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berakhlak mulia.

Baca Halaman Selanjutnya..

Menghidupkan kembali semangat mission HMI bukan sekadar soal merestorasi simbol-simbol organisasi, tetapi lebih pada proses mengembalikan ruh perjuangan yang berlandaskan nilai-nilai filosofis.

Dengan menyatukan pemikiran, moralitas, dan aksi nyata, HMI dapat kembali menjadi organisasi yang relevan dan berkontribusi bagi umat dan bangsa, sesuai dengan semangat pendiriannya.

Epilog

Dinamika dalam konferensi HMI Cabang Ternate adalah cerminan dari semangat demokrasi dan keberagaman yang ada dalam tubuh organisasi ini. Meski sering diwarnai dengan perdebatan, harapan besar tetap tertuju pada terciptanya konsensus yang berlandaskan pada misi HMI.

Dengan begitu, HMI Cabang Ternate dapat terus menjadi garda terdepan dalam melahirkan kader-kader unggul yang mampu berkontribusi bagi masyarakat dan bangsa.
Selamat Berkonfrensi. (*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Senin, 20 Januari 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/01/senin-20-januari-2025.html

Exit mobile version