Site icon MalutPost.com

Ngana Kita

Salim

Oleh: Salim
(Kepsek SD Alam Madani)

Bahasa adalah cermin dari identitas suatu daerah. Setiap aksen, setiap kosakata, dan bahkan intonasi dalam percakapan memiliki akar yang dalam, menghubungkan penggunanya dengan sejarah, budaya, dan tradisi lokal.

Fenomena yang berkembang di Maluku Utara, khususnya Ternate, menunjukkan bagaimana bahasa bisa menjadi perdebatan sekaligus tantangan besar dalam mempertahankan dan melestarikan kekayaan budaya lokal.

Salah satu contoh yang menarik adalah pergeseran penggunaan bahasa daerah, di mana ungkapan khas seperti “Ngana kita” yang merupakan bagian dari keseharian masyarakat ternate, perlahan-lahan digantikan dengan bahasa Indonesia tinggi, yang dianggap lebih “modern” atau lebih tepat untuk digunakan dalam interaksi formal.

Ungkapan “Aku itu to.. mo pigi deng mama aku nanti malam di Mall” yang terdengar ketika penulis mendengarkan percakapan anak-anak di sekolah, menggambarkan betapa campur aduknya penggunaan bahasa Indonesia dengan aksen daerah Ternate.

Kalimat tersebut, meski mengandung bahasa Indonesia yang benar, terasa asing dan janggal karena tidak sepenuhnya mengikuti pola gramatikal bahasa Indonesia yang baku. Hal ini menjadi refleksi dari sebuah dinamika sosial di mana bahasa daerah yang seharusnya menjadi ciri khas, justru mulai tergeser.

Fenomena serupa juga terlihat di angkutan kota, di mana percakapan antara sopir dan penumpang yang sama-sama berasal dari Ternate, menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek yang minim nuansa lokal.

Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan untuk mengganti bahasa daerah dengan bahasa Indonesia yang dianggap lebih “baik” atau lebih “universal”. Namun, apakah ini adalah langkah yang benar untuk menjaga eksistensi budaya daerah?

Baca Halaman Selanjutnya..

Bahasa daerah, seperti “Ngana kita”, bukan hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga sebuah identitas yang melekat pada suatu komunitas.

Di Ternate, misalnya, “Ngana kita” adalah bentuk khas dari komunikasi yang tidak hanya mencerminkan keakraban tetapi juga kebanggaan terhadap warisan budaya lokal.

Namun, beberapa tahun belakangan, kita menyaksikan munculnya upaya untuk menghilangkan penggunaan bahasa ini, terutama di kalangan orang tua dan pengajar, yang cenderung mendorong anak-anak mereka untuk lebih banyak berbicara menggunakan bahasa Indonesia tinggi.

Di beberapa sekolah, banyak guru yang berusaha untuk menggantikan “Ngana kita” dengan “Aku kamu”, demi mengikuti standar bahasa Indonesia yang lebih formal.

Bahkan, di beberapa kampus, dosen-dosen yang merupakan orang asli Maluku Utara juga memberikan instruksi kepada mahasiswa untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baku, bukan dialek lokal.

Para pengajar dan orang tua berpendapat bahwa anak-anak yang terbiasa menggunakan bahasa daerah akan kesulitan bersaing dengan anak-anak dari luar, terutama yang berasal dari bagian Indonesia Barat, jika terus menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari.

Namun, perlu dipertanyakan apakah benar bahwa penggunaan bahasa daerah akan menghambat kemampuan anak-anak Maluku Utara dalam berkompetisi dengan anak-anak dari luar daerah? Pemikiran ini, meskipun bisa dimengerti, sejatinya adalah sebuah kesalahan besar.

Baca Halaman Selanjutnya..

Bahasa Indonesia yang baik dan benar memang perlu dipelajari, terutama dalam konteks akademis dan komunikasi formal. Namun, mengganti bahasa daerah dengan bahasa Indonesia tinggi tanpa memperhatikan pentingnya literasi dan kemampuan berpikir kritis justru akan membuat anak-anak kita kehilangan jati diri mereka.

Sebaliknya, dengan meningkatkan literasi dan kemampuan intelektual, anak-anak Maluku Utara akan mampu bersaing di tingkat nasional, meskipun tetap mempertahankan penggunaan bahasa daerah mereka.

Di sini, kita bisa belajar dari tokoh-tokoh seperti Thamrin Amal Tomagola dan Dr. Margarito Kamis, yang meskipun besar dengan dialek asli daerah tanpa perlu mengubahnya menjadi bahasa Indonesia tinggi, berhasil menjadi tokoh berpengaruh di tingkat nasional.

Mereka membuktikan bahwa keberhasilan tidak hanya bergantung pada penguasaan bahasa Indonesia yang baku, tetapi lebih pada kualitas literasi, wawasan, dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan cara yang relevan dan bermakna.

Meningkatkan literasi adalah kunci untuk memastikan anak-anak Maluku Utara bisa berkembang dan berkompetisi di dunia yang semakin global ini.

Bukan dengan menghilangkan bahasa daerah atau menggantinya dengan bahasa Indonesia tinggi, tetapi dengan mengajarkan anak-anak untuk memahami dan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, sekaligus membangkitkan kebanggaan terhadap bahasa daerah mereka.

Dalam hal ini, bahasa daerah seperti “Ngana kita” bukanlah hal yang perlu dihilangkan, melainkan justru perlu dilestarikan sebagai bagian dari warisan budaya yang sangat berharga.

Baca Halaman Selanjutnya..

Jika kita memperhatikan daerah-daerah lain seperti Manado dan Ambon, kita akan melihat bagaimana mereka dengan bangga mempertahankan dialek mereka.

Bahkan, dialek tersebut tidak hanya digunakan dalam percakapan sehari-hari, tetapi juga menjadi daya tarik bagi orang luar yang tertarik untuk mempelajarinya.

Begitu juga dengan bahasa daerah kita di Maluku Utara, bahasa seperti “Ngana kita” bisa menjadi identitas yang membanggakan jika kita mampu mengelola dan melestarikannya dengan bijaksana.

Sebagai bagian dari masyarakat Maluku Utara, khususnya orang Ternate, kita harus menyadari bahwa bahasa daerah adalah bagian dari sejarah dan kekayaan budaya kita.

“Ngana kita” adalah kita. Mengubahnya menjadi “Aku kamu” hanya akan membuat kita kehilangan salah satu elemen penting dari identitas budaya kita. Bahasa daerah adalah simbol keberagaman, dan kita seharusnya bangga dengan keberagaman tersebut.

Sebagai kesimpulan, mengganti “Ngana kita” dengan “Aku kamu” bukanlah solusi untuk mempersiapkan anak-anak Maluku Utara dalam menghadapi tantangan global.

Baca Halaman Selanjutnya..

Sebaliknya, yang perlu kita lakukan adalah meningkatkan literasi, memberikan pendidikan yang berkualitas, dan membangkitkan rasa bangga terhadap bahasa daerah kita.

Dengan cara ini, anak-anak kita akan siap untuk berkompetisi di tingkat nasional dan internasional tanpa harus mengorbankan identitas budaya mereka.

Kita harus ingat bahwa bahasa adalah bagian dari siapa kita, dan “Ngana kita” akan selalu menjadi bagian dari kita, sebagai warisan yang perlu kita jaga dan lestarikan. (*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Kamis, 16 Januari 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/01/kamis-16-januari-2025.html

Exit mobile version