Kaleidoskop 2024: Nasib Morotai, Bangkit atau Bangkrut?

Hal serupa juga dikeluhkan siswa SMP Unggulan 1 Pulau Morotai yang berdomisili di Desa Morodadi, Morotai Selatan. Karena, untuk pergi sekolah siswa tidak diantar jemput langsung di depan rumah. Namun mereka harus berjalan laki sampai ke jalan raya dengan jarak dari rumah sekitar 1 kilometer lebih. Hal ini berlangsung setiap hari ketika para siswa pergi dan pulang sekolah.
Kekurangan operasional BBM untuk bus sekolah ini juga secara terang diakui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Pulau Morotai. Pihak dinas beralasan kekurangan operasional ini menjadi salah satu kendala yang selalu dihadapi setiap saat.
Kondisi ini menimbulkan opini liar disertai pertanyaan oleh publik apakah Morotai sudah bangkrut atau berada di ambang kebangkrutan?. Sebab ketika ditanyakan soal pembayaran sejumlah tunggakan dan masalah keuangan lainnya, Pemkab Pulau Morotai selalu beralasan akan menyelesaikan hal tersebut, tapi menyesuaikan dengan kondisi keuangan daerah. Entah apa sebabnya, sehingga alasan tersebut selalu menjadi pernyataan paling ampuh yang sering dilontarkan Pemkab Pulau Morotai.
Selain pelayanan kesehatan dan pendidikan yang bermasalah, pengelolaan keuangan daerah di Pulau Morotai juga berimbas pada perputaran ekonomi masyarakat yang begitu memprihatinkan beberapa tahun terakhir. Tingginya belanja modal dan pemangkasan hak-hak pegawai mengakibatkan daya beli masyarakat makin hari makin menurut. Sejumlah tempat perbelanjaan selalu terlihat sepi seperti yang terjadi di pasar rakyat Central Business Districk (CBD).
Para pedagang di sana setiap saat mengeluh lantaran dagangan mereka banyak yang rusak dan harus dibuang, karena minimnya pembeli yang datang berbelanja. Pendapatan per hari bahkan per bulan tidak sebanding dengan modal usaha yang mereka keluarkan untuk berjualan. Mirisnya lagi, pernah ada sekitar 20 pedagang Barito yang berjualan di pasar CBD terpaksa harus gulung tikar karena kehabisan modal usaha.
Momen hari-hari besar seperti Puasa Ramadan, hari raya, natal dan tahun baru yang dinanti para pedagang sebagai musim “panen”, ternyata tidak sesuai harapan. Sebab kunjungan pembeli tidak begitu ramai dan tetap sepih seperti hari-hari biasanya. Namun kondisi ini terkesan diabaikan dan tidak ada perhatian dari pemerintah daerah.
Di tengah jeritan pedagang, Pemkab Pulau Morotai memilih melaksanakan program pasar murah dengan dalil menjaga stabilitas harga sembako dan barito serta upaya menekan angka inflasi daerah. Namun program operasi pasar ini berulang kali mendapat protes dari pedagang, karena pemerintah daerah dianggap selalu lepas tangan atas nasib pedagang di pasar tanpa memberi solusi terbaik.
Mirisnya pengelolaan keuangan dan tata kelola pemerintahan daerah yang amburadul, tapi masih saja dijadikan bahan pencitraan sana-sini seakan Pulau Morotai baik-baik saja. Kenyataannya begitu banyak persoalan yang terjadi dan akan diwariskan ke pemerintahan selanjutnya.
Ini tentu menjadi beban dan pekerjaan besar bagi DPRD selaku wakil rakyat serta bupati dan wakil bupati yang akan menjalankan roda pemerintahan Kabupaten Pulau Morotai di lima tahun mendatang. Harapan besar masyarakat, agar ada kesejahteraan pasca berakhirnya masa pemerintahan yang terkesan mengabaikan kepentingan rakyat.
Komentar