Site icon MalutPost.com

Menggugat Kebijakan Dekan

Oleh: Fuadsul Nurdin
(Mahasiswa Fakultas Hukum Unkhair dan Koordinator Forum Studi Independensia)

Polemik yang terjadi belakangan ini dengan melibatkan elit Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU), dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum yang memelopori aksi protes di kampus sungguh mengundang kekhwatiran.

Dalam bahasa agama boleh kita katakan aksi yang berbuntut pada pembekuan BEM Fakultas Hukum itu sebagai musibah. Sebuah bencana demokrasi di kampus yang dipertontonkan dengan mempertaruhkan kewibawaan dari kedudukan sebagai dosen dan akademisi, kehormatan jabatan sebagai dekan, dan kemuliaan sebagai kaum terdidik tanpa menghadirkan solusi yang baik. Miris.

Ketika Prof Stella Christie, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi lagi gencar dan semangat mengedukasi kaum terpelajar di media sosial, juga tengah meramu kebijakan-kebijakan pendidikan yang progresif nanti kedepannya.

Sebagian akademisi di persimpangan yang lain rupanya berulah, bukan malah mengevaluasi sistem dan ekosistem pembelajaran, mengobati luka-luka akademik dan dosa-dosa intelektual yang mungkin masih tersisa, malah menambah daftar hitam moral sebagai akademisi dengan mengambil kebijakan yang krisis kebajikan.

Terjadinya pembekuan BEM ataupun Ormawa (Organisasi Mahasiswa) sudah tidak asing lagi akhir-akhir ini, artinya bahwa pembunuhan BEM atau Ormawa di kampus bukan kali ini terjadi.

Entah apakah ini sebagai siasat untuk membungkam suara-suara kebenaran atau hanya sebagai peringatan bahwa suara tersebut melampaui batas, dua-duanya boleh jadi benar.

Tapi jangan sampai ini kemudian menjadi tren oleh elite di kampus kedepannya, seolah-olah menjadi senjata disetiap ada protes yang dilakukan oleh BEM dalam menyampaikan aspirasi mahasiswa di kampus.

Baca Halaman Selanjutnya..

Apapun yang terjadi, suka atau tidak suka, senang atau pun tidak, Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 jo. Pasal 1 ayat (1), dan Pasal (3) Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang “Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum” harus terus ditegakkan! Sejalan dengan Kredo Hukum Fiat Justitia Ruat Caelum, keadilan harus ditegakkan walaupun langit akan runtuh.

Pada 25 Oktober 2024 lalu, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) dibunuh oleh pihak dekanat, diduga berkaitan dengan pemasangan ucapan selamat terhadap Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Wakilnya Gibran Rakabuming Raka, yang dinilai kalimat satire tersebut terlalu kasar dalam penggunaan diksi.

Kebebasan berekspresi ditoleransi sampai batas tertentu, sehingga akhirnya surat pembekuan dicabut tiga hari kemudian setelah adanya kesepakatan.

Setelah 43 hari kemudian terjadi di UMMU, namun motifnya sedikit berbeda. Pembekuan badan eksekutif mahasiswa terjadi karena aksi protes dan demo berjilid-jilid karena adanya keganjalan dalam tahapan proses akademik yang dilakukan oleh pihak Fakultas kepada mahasiswa.

Bahwa ada satu mahasiswa yang naik ujian proposal yang melangkahi tahapan dan belum lulus (nilainya E) untuk mata kuliah metode  penelitian hukum sebagai persyaratan untuk bisa mengikuti ujian proposal. Prosedur akademik diabaikan guna memuluskan proses segelintir mahasiswa. Apakah ia punya privilige tertentu? Entahlah.

Sebagai mahasiswa, kita tidak perlu membaca buku berjilid-jilid, berdiskusi panjang ditemani kopi hingga pagi atau mengkategorikan mahasiswa tipe apa menurut Prof Ibrahim Gibra yang berkompeten untuk menganalisis masalah ini.

Surat Keputusan (SK) Pembekuan BEM Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara adalah salah satu surat keputusan yang terburuk dalam jenis “perihal” substansi surat yang pernah dikeluarkan dalam dunia akademik, khususnya di tingkat universitas yang ditujukan untuk organisasi internal.

Baca Halaman Selanjutnya..

Sebab tidak ada landasan filosofis yang kuat dan solusi yang diharapkan dalam pertimbangannya untuk membenarkan SK Pembekuan itu, apalagi membenarkan perbuatan yang sepantasnya disebut kejahatan dalam dunia pendidikan oleh oknum tenaga pendidik.

Bagaimana tidak, poin satu dalam bagian pertimbangan “Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara Nomor : 150/A/KEP/DEKAN-FH/UMMU/XII/2024 menyatakan, “Bahwa demi Penyelesaian aksi BEM Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara Periode 2024-2025, dan normalisasi kegiatan akademik Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, maka dipandang perlu untuk menetapkan pembekuan kepengurusan BEM Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara Periode 2024-2025.

Pada poin tersebut, pada titik mana kita menemukan jaminan bahwa dengan adanya pembekuan BEM masalah ini dapat selesai simultan dengan keadaan kegiatan akademik kembali normal.

Apakah menormalisasi kegiatan akademik yang dimaksud adalah menormalisasi mahasiswa tertentu, yang pada mata kuliah metode penelitian walaupun tidak memenuhi syarat nilai lulus dapat naik proposal di hari ini ataupun kedepannya?

Apakah itu yang dimaksud dengan normalisasi kegiatan akademik? menarik juga kalau benar ada maksud terselubung itu diselipkan di dalam normalisasi kegiatan akademik secara umum, itu berarti tidak ada nawaitu yang sungguh guna menyelesaikan masalah ini.

Kemudian pada titik mana di poin satu itu yang menjamin bahwa dengan adanya pembekuan BEM Fakultas Hukum dapat menghentikan aksi protes yang datang dari aspirasi mahasiswa yang dipelopori oleh BEM?

BEM hanyalah benda mati, yang bersuara, bergerak, melawan ketidakadilan, dan ketidakjujuran adalah orang-orang yang ada di dalamnya mahasiswa-mahasiswa berjiwa militan, berjuang menegakkan prinsip keadilan dan kebenaran, maka itu tidak akan pernah mati.

Baca Halaman Selanjutnya..

Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 sebagaimana dijadikan sebagai dasar hukum Surat Keputusan Dekan tersebut menyebutkan bahwa “Pendidikan Tinggi berasaskan: (a) kebenaran ilmiah; (b) penalaran; (c) kejujuran; (d) keadilan; (e) manfaat; (f) kebajikan; (g) tanggung jawab; (h) kebhinekaan; dan (i) keterjangkauan.

Dalam konteks ini, kita sama sekali tidak menemukan “penalaran” yang baik, kejujuran, keadilan, manfaat, kebajikan dan tanggung jawab dari masalah yang katanya diselesaikan dengan diterbitkannya surat keputusan.

Penalaran untuk dieksekusinya Fungsi aspirasi mahasiswa simultan dengan dieksekuinya BEM, seolah menolak aspirasi untuk diakomodir. Kejujuran, keadilan, manfaat, kebajikan dan tanggung jawab untuk input dan output dari masalah kepentingan mahasiswa fakultas hukum.

Kiranya kita semua akan sepakat untuk sebait puisi yang pernah dikatakan oleh masa aksi mahasiswa Unhas pada 3 September 2021 silam yang kurang lebih senasib dengan BEM Fakultas Hukum UMMU hari ini: “Kau potong tanganku, kau potong seluruh tubuhku, tapi mulutku masih bisa bicara, angkat aku, jemur aku teman, biar aku mencair” (identitasunhas.com).

Senada dengan itu oleh cermat.co.id, Presiden BEM Fakultas Hukum UMMU angkat suara, “Tindakan pembekuan BEM Hukum bukan tindakan yang dapat menyelesaikan masalah, tapi tindakan yang dapat melahirkan masalah lebih besar.

Maka percayalah, dengan bahasa itu yang mati hanya lembaga, orangnya tetap akan hidup dan akan kembali seperti badai, dan menjadi mimpi buruk bagi mereka yang menyimpang dari kebenaran.(*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Sabtu, 14 Desember 2024
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2024/12/sabtu-14-desember-2024.html

Exit mobile version