Pilkada Antara Rahmat dan Musibah

Itu berarti dibutuhkan seorang calon gubernur yang memiliki kecakapan, Pilkada dapat bermakna rahmat atau sebaliknya akan menjadi musibah, jika pelaksanaan pilkada jauh dari sistim dan nilai-nilai demokrasi atau tidak sejalan dengan asas pemilu yakni, jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia.
Pilkada yang demokratis, justru dimaksudkan untuk mencari pemimpin yang berkualitas yang akan menjadi problem solver bagi setiap permasalahan di daerah dan bukan sebaliknya menjadi sumber atau pangkal masalah.
Apabila terdapat ketidakjurdilan dalam pelaksanaan pilkada, akan menghadirkan sakwa sangka ketidakpuasan masyarakat, jika tidak diantisipasi secara bijak, maka kondisi ini berpotensi munculnya konflik ditengah masyarakat.
Para tokoh formal dan informal tersebut di atas selanjutnya disebut pemuka pendapat. Para pemuka pendapat diduga keterlibatannya dalam politik praktis, mengundang kata tanya, apakah para insan ini tidak faham fungsi dan tugasnya?
Apakah dengan cara seperti maaf tanpa “wara’” ini tidak merusak citra diri dan marwah organisasi atau lembaga?
Akan tetapi ada yang pasti bahwa dengan sikap dan perilaku para insan ini telah menciptakan luka batin bagi umat Islam Malut, betapa tidak, MUI yang bertugas memandu umat sesuai ketentuan Al Quran dan Sunnah, sebagai lembaga pengawal moral dan menjaga aqidah umat justru bersikap sebaliknya.
Demikian pula pimpinan kemenag abai terhadap ayat-ayat kitab suci dan aturan negara. Pemangku adat juga tidak sejalan dengan falsafah adat “Adat se Atorang Matoto Agama Rasulullah” (adat istiadat berintikan agama Islam).
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar