Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah cara pengisian jabatan public yang dilakukan melalui pemilihan langsung calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.
Setiap warga negara yang memiliki hak pilih akan menentukan pilihannya terhadap calon yang dianggap baik dan mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat Hak pilih adalah hak yang melekat pada diri seseorang, karena itu, tidak boleh diwakilkan atau dialihkan kepada pihak lain.
Pemilih (voters) menjadi sesuatu yang amat bernilai oleh para calon Kepala Daerah. Oleh karena itu, berbagai cara dilakukan demi meraih hati pemilih agar dinilai yang terbaik dengan harapan kelak terpilih dalam pilkada. Upaya meraih hati pemilih ini lah yang tak jarang mengabaikan factor etika dan moral politik oleh para pelaku politik.
Bila dicermati proses demokrasi yang sedang berlangsung belum dapat disebut lancar, khususnya perilaku politik dalam pelaksanaan pilkada, masih memerlukan peningkatan etika dan moral politik. Tuntutan terhadap peningkatan etika dan moral dalam praktik politik, tentu tidak dapat dilepaskan dari ekspresi politik masyarakat.
Tuntutan tersebut , merupakan harapan negara bangsa, agar tercipta demokrasi yang lebih beradab. Kurangnya kesadaran dalam membangun etika dan moral politik, bahkan cenderung terabaikan, mengakibatkan banyak pihak menjadi galau dan gamang, karena pada akhirnya mengabaikan demokrasi itu sendiri. Fakta adanya perilaku koruptif dan sejumlah penyimpangan dilakukan pemimpin dan para pejabat, menunjukkan kondisi Maluku Utara sedang dilanda krisis moral, bahkan “tragis”.terdapat kepala daerah yang mengakhiri masa kuasanya dengan suul khatimah.
Sesungguhnya esensi dari demokrasi harus terdapat kesejahteraan rakyat, kalau pelaksanaannya masih mengabaikan faktor etika dan moral politik, dikhawatirkan tujuan kesejahteraan rakyat tidak tercapai, seperti merebaknya praktik politik uang dalam pilkada dan pelaksanaan demokrasi yang sekedar prosedural.
Masyarakat berhak mendapatkan pendidikan politik yang baik dalam proses pilkada khususnya masa kampanye, tawaran program dan adu gagasan yang diperjuangkan oleh para kandidat, untuk dinilai oleh masyarakat, Apakah bermaslahat bagi masyarakat atau tidak, bukan dengan cara uang duduk 300 ribu rupiah atau serangan fajar pada saat hari pencoblosan misalnya.
Bila hal demikian terjadi, maka masyarakat berhak menilai bahwa etika dan moral politisi seperti ini (baca tanpa malu) bukanlah seorang negarwan sejati, tapi lebih tepat disebut pedagang. Penting diketahui namanya pedagang hanya berfikir untung dan rugi, tidak ada yang lain.
Jika kekuasaan gubernur di serahkan kepada politisi tipe pedagang, maka patut diduga memungkinkan pemerintahannya syarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme pada akhirmya rakyat dan daerah juga yang dikorbankan. Oleh karena itu, perlu adanya gerakan kolektif menolak praktik politik yang mengabaikan factor etika dan moral, demi mewujudkan politik akal sehat yang berkeadaban
Sejatinya masyarakat Maluku Utara menyadari bahwa selama dua atau lebih periode gubernur, di daerah kaya hasil tambang ini, seperti terjerembab didalam kubangan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN). Akibat dari penyalahgunaan kekuasaan dan perilaku menyimpang para pejabat.
Baca halaman selanjutnya..
Memang negeri ini salah urus sejak awal dimekarkan pada tahun 1999. Oleh karena itu, pemilihan gubernur pada tanggal 27 November 2024, mestinya diniatkan untuk menghentikan perilaku pejabat yang bermental korup, maka berbicaralah dengan hati nurani setiap pemilih, bahwa pilkada saat ini adalah pilkada perubahan dan perbaikan.
Untuk itu diperlukan calon gubernur yang layak dipilih yakni;; memiliki rekam jejak yang baik, bersih, berahlak mulia, tidak pernah terindikasi korupsi, atau perbuatan tercela, santun, bersahaja dan amanah. Dengan kata lain, hanya dengan kepemimpinan yang amanah, terwujud pemerataan pembangunan, keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Saatnya membangun kesadaran bersama menanggalkan cara berpolitik yang tidak beretika dan melanggar moral. Sebab kekuasaan yang diraih dengan cara -cara yang tidak bermoral, mustahil akan berbuah keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak atau tidak memperoleh berkah.
Buya Hamka berpandangan “politik tidak edentik dengan kekotoran, manakala dibungkus dengan nilai moral agama. Bahkan berpolitik menjadi mulia dan luhur justru, karena ditopang dengan konsistensi moral agama”. Moral agama dalam proses politik haruslah dijunjung tinggi, disinilah sinerjitas antara moral agama dan praktik politik.
Ikhtiar mewujudkan demokrasi yang berkualitas, tentu saja diperlukan “moral capital” oleh para pelaku politik. Menurut Yudi Latif (2008:8) setidaknya ada empat sumber utama bagi politisi, untuk mengembangkan, menjaga dan memobilisasi “moral capital” secara politik. Pertama, basis moralitas; menyangkut nilai-nilai, tujuan serta orientasi politik yang menjadi komitmen dan dijanjikan kepada konstituennya (pemilih).
Kedua, tindakan politik; terkait kinerja politisi dalam menerjemahkan nilai-nilai moralitasnya ke dalam ukuran-ukuran perilaku, kebijakan dan keputusan politiknya. Ketiga, keteladanan; berhubungan dengan contoh perilaku moral yang konkrit dan efektif menularkan kesan otentik dan kepercayaan kepada komunitas politik. Keempat, komunikasi politik; yakni kemampuan atau keterampilan politisi mengkomunikasikan gagasan serta nilai-nilai moralitas dalam bentuk bahasa politik yang efektif, mampu memperkuat solidaritas dan moralitas masyarakat.
Berdasarkan keempat ukuran tersebut, kita dapat menakar noral capital dari para politisi dan aparatur negara. Dalam pandangan Yudi Latif, kebanyakan para pemimpin politik telah gugur pada kriteria pertama. Integritas moral politik macam apa oleh pimpinan partai yang “menggelapkan uang negara”.
Kriteria kedua, lebih sedikit lagi yang bisa lolos. Sulit ditemukan partai dan politisinya yang sungguh-sungguh setia pada fatsoen politik atau sanggup menerjemahkan klaim ideologinya kedalam bentuk kebijakan dan agenda politik yang konkrit. Demikian pula partai-partai yang mengibarkan bendera Islam jarang secara sungguh-sungguh memuliakan moralitas Islam; begitupun partai yang mengusung “marhaenisme” tak pernah sungguh-sungguh memperjuangkan kehidupan rakyat kecil.
Pada kriteria ketiga lebih sulit lagi ditemui pemimpin yang mengklaim sebagai demokrat, justru lebih sering berperilaku tiranik. Kriteria keempat, pemimpin yang mengaku pejuang wong cilik, justru menjaga jarak dengan rakyat. Yudi benar, komunikasi politik para pemimpin belum efektif, karena tak tersedianya mekanisme pertanggungjawaban public, yang menjamin pertautan antara para pemimpin dengan pengikutnya.
Itu berarti dengan “tiadanya modal moral yang kuat, kita mengalami ketiadaan jangkar keyakinan dan kepercayaan”. Sehingga upaya pemulihan krisis seperti menegakkan benang basah.