Oleh: Dedi Supriadi
(Kepala Seksi Pembinaan Pelaksanaan Anggaran ID Kantor Wilayah DJPb Provinsi Maluku Utara)
Dalam berita yang dirilis oleh ANTARANews pada 19 September 2024, Presiden Joko Widodo menyoroti tren “Gig Economy”. Jokowi menyampaikan Gig Economy berpotensi menjadi tren perekonomian di masa depan karena preferensi sektor privat yang memilih merekrut pekerja lepas baik dari dalam maupun luar negeri.
Menurut Jokowi, perusahaan lebih memilih untuk mempekerjakan pekerja lepas dengan kontrak jangka pendek untuk mengurangi risiko ketidakpastian ekonomi. Apabila tidak dikelola dengan baik maka Gig Economy hanya memberikan dampak negatif bagi masyarakat pekerja. Lantas apa sebenarnya Gig Economy itu?
Gig Economy bertumpu pada fleksibilitas lingkungan kerja yang didominasi oleh pekerjaan yang bersifat sementara dan tanpa kontrak kerja jangka panjang.
Karakteristik fleksibilitas bekerja dalam gig economy menawarkan kebebasan dan kesempatan bagi banyak orang untuk mendapatkan pekerjaan yang tidak dibatasi oleh jam kerja. Karakteristik tersebut juga menarik para generasi muda dan mereka yang sedang mencari penghasilan tambahan.
Namun, gig economy juga memberikan adanya ketidakpastian penghasilan, jam kerja panjang, dan perlindungan sosial yang minim sehingga para pekerja yang berkecimpung dalam ekosistem gig economy mempunyai posisi yang sangat rentan.
Menurut gigpedia.com, beberapa pemain utama gig economy telah menurunkan insentif, bonus, dan tarif per kilometer secara bertingkat sehingga menurunkan penghasilan pekerja gig economy.
Dengan demikian, para pekerja gig economy tidak hanya berada dalam posisi yang rentan tetapi juga semakin terjepit karena regulasi dari pemain utama gig economy.
Baca Halaman Selanjutnya..
Agar gig economy dapat optimal memberikan kontribusi nyata dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka pemerintah harus mempunyai regulasi yang mampu menghadirkan ekosistem gig economy yang mengedepankan keadilan melalui perlindungan sosial dan dukungan yang lebih positif terhadap gig economy.
Melalui kebijakan yang tepat, Pemerintah dapat menjadikan gig economy sebagai masa depan menuju Indonesia Emas bukan sebagai sumber ketidakpastian ekonomi. Salah satu kebijakan yang perlu disusun adalah kebijakan fiskal seperti perpajakan, penganggaran, dan program perlindungan sosial.
Tulisan ini akan menjelaskan bagaimana peluang dan hambatan dalam ekosistem gig economy serta intervensi kebijakan pemerintah sehingga gig economy dapat menjadi masa depan ekonomi Indonesia dan bukan sumber ketidakpastian.
Peluang Gig Economy di Indonesia
Pada beberapa tahun terakhir sektor ekonomi informal Indonesia mengalami perkembangan sangat pesat yang dipicu oleh kemajuan teknologi digital. Melalui disrupsi teknologi digital, sektor informal telah beralihrupa menjadi Gig Economy.
Menurut gigpedia.com, gig economy telah mempekerjakan sekitar empat juta orang dan berkontribusi terhadap perekonomian Indonesia sebesar US$7 miliar.
Bahkan pada tahun 2025 diperkirakan akan tumbuh menjadi US$146 miliar. Cepatnya perkembangan gig economy di Indonesia didorong oleh ekspansi pemain utama dalam ekosistem gig economy seperti Gojek dan Grab.
Fleksibilitas menjadi magnet utama bagi para pekerja terutama generasi muda untuk terjun ke dalam ekosistem gig economy. Dalam gig economy para pekerja bebas memilih waktu dan tempat bekerja.
Baca Halaman Selanjutnya..
Hal ini menjadi sesuatu yang sangat menarik bagi orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk bekerja penuh waktu seperti mahasiswa, ibu rumah tangga, dan mereka yang mencari penghasilan tambahan.
Dengan fleksibilitas kerja, gig economy memberikan kesempatan para pekerja untuk tetap dapat bekerja tanpa meninggalkan kewajiban lainnya. McKinsey menyebutkan bahwa fleksibilitas kerja menjadi alasan bagi 20% pekerja di Asia Tenggara termasuk Indonesia untuk masuk ke dalam gig economy.
Gig Economy merupakan jawaban untuk angkatan kerja yang selama ini tidak dapat memasuki sektor formal. Dalam ekosistem gig economy, angkatan kerja yang mempunyai tingkat pendidikan rendah dan tidak mempunyai keterampilan khusus memiliki kesempatan mendapatkan pekerjaan sebagai pengemudi, pengantar barang, dan pekerja lepas di berbagai platform digital.
Pada 2021, Organisasi Buruh Internasional menyampaikan bahwa gig economy membuka kesempatan bagi pekerja terutama kalangan anak muda dan kelompok rentan lainnya untuk mendapatkan penghasilan.
Sebagai bagian dari sektor informal, gig economy menjadi sektor baru yang cukup menjanjikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi lebih tingi lagi. Perluasan pasar tenaga kerja, peningkatan produktivitas, dan saluran penghasilan yang baru dapat diciptakan oleh gig economy.
Sektor informal menjadi sektor yang memberikan kontribusi sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, yaitu sebesar 61,97% PDB Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS).
Tantangan Gig Economy di Indonesia
Seperti melihat dua sisi koin, gig economy tidak hanya menawarkan berbagai peluang yang menjanjikan bagi angkatan kerja, tetapi juga memunculkan berbagai tantangan yang perlu dikelola dengan baik agar menjadi masa depan perekonomian masyarakat.
Baca Halaman Selanjutnya..
Tantangan seperti ketidakpastian pendapatan, perlindungan sosial yang minim, peluang eksploitasi, dan turunnya kualitas sumber daya manusia Indonesia menjadikan fleksibilitas yang ditawarkan gig economy menjadi khayali.
Pendapatan para pekerja gig economy akan sangat berfluktuasi bergantung pada permintaan konsumen. Bonus dan insentif yang diberikan oleh platform digital akan ditentukan oleh seberapa keras upaya pekerja gig economy memenuhi permintaan konsumen.
Semakin keras usahanya maka akan semakin tinggi pula pendapatan yang dihasilkan demikian juga sebaliknya. Fluktuasi penghasilan ini menyebabkan para pekerja gig economy kesulitan membuat perencanaan keuangan jangka panjang dan memenuhi kebutuhan keluarga di masa depan.
Tantangan berikutnya adalah para pekerja tidak mendapatkan perlindungan sosial. Merujuk data dari theconversation.com, pada akhir tahun 2023, dari 80,24 juta orang yang bekerja pada ekosistem gig economy hanya 8% yang memiliki jaminan sosial pada BPJS Ketenagakerjaan.
Rendahnya persentase tersebut menurut theconversation.com disebabkan oleh regulasi dan data pekerja gig economy yang masih minim, penghasilan yang tidak stabil dan mencukupi untuk membayar iuran, literasi yang masih rendah, mobilitas pekerja yang tinggi, dan kurangnya sosialisasi terkait jaminan sosial.
Ketiadaan jaminan sosial membuat posisi para pekerja gig economy menjadi semakin rentan, terlebih lagi ketika kehilangan pekerjaan.
Menurut gigpedia.com, beberapa platform aplikasi utama telah menurunkan insentif, bonus, dan tarif per kilometer secara bertahap sehingga membuat para pekerja pada platform tersebut harus bekerja lebih keras lagi agar memperoleh penghasilan yang cukup untuk membiayai kebutuhan secara layak.
Baca Halaman Selanjutnya..
Sekitar 20% pekerja gig economy harus bekerja lebih dari 100 jam per minggu untuk dapat hidup layak. Jam kerja yang berlebihan membuat pekerja gig economy merasa tereksploitasi dan merasa bahwa fleksibilitas itu hanya nisbi.
Forbes menyebutkan pekerja gig economy yang tidak mempunyai keterampilan khusus dan menjadikan pekerjaannya tersebut sebagai mata pencaharian utama seringkali merasa tereksploitasi.
Kemudahan bekerja di ekosistem gig economy yang tidak membutuhkan pendidikan dan keahlian tertentu menjadi sebuah jebakan sehingga para pekerja tidak dapat mengembangkan dirinya.
Kondisi ini disebabkan jenis hubungan kerja antara pekerja dengan penyedia platform bukanlah seperti antara penerima pekerjaan dan pemberi pekerjaan. Hubungan mereka dalam gig economy hanyalah sebagai “mitra” dalam bekerja.
Selayaknya hubungan kemitraan, maka penyedia platform tidak berkewajiban untuk mengembangkan kompetensi para pekerja gig economy. Dengan jumlah pekerja pada sektor gig economy yang semakin meningkat, maka dikhawatirkan dalam jangka panjang akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Peran Kebijakan Pemerintah
Kebijakan yang inklusif diperlukan agar gig economy tidak sekedar khayali tetapi juga menjadi sarana meningkatkan kesejahteraan masyarakat di masa depan.
Terdapat beberapa kebijakan yang perlu disusun untuk mendukung pengembangan gig economy, yaitu pengenaan pajak yang adil dan inklusif, pembangunan infrastruktur teknologi yang merata, perlindungan sosial pekerja, dan pengembangan kapasitas SDM pekerja gig economy agar memiliki nilai tawar lebih tinggi dalam ekosistem gig economy.
Baca Halaman Selanjutnya..
Pemerintah dapat memulai merancang kebijakan pajak sederhana dan memudahkan pekerja untuk memenuhi kewajiban pajaknya. Hal tersebut disebabkan adanya terminologi kemitraan sehingga para pekerja gig economy harus melakukan perhitungan kewajiban perpajakannya secara mandiri.
Simplifikasi kebijakan pajak tersebut meliputi perhitungan pajak penghasilan yang disederhanakan dan pemberlakuan pajak progresif guna memastikan tidak membebani pekerja gig economy yang berpenghasilan rendah.
Dari sisi belanja, pemerintah perlu mengakselerasi belanja untuk pembangunan infrastruktur digital. Melalui pembangunan infrastruktur digital, masyarakat akan mendapatkan akses internet secara merata. Hal ini tidak saja memperluas pasar gig economy, tetapi juga menarik lebih banyak orang untuk masuk ke dalam ekosistem gig economy.
Pengalokasian anggaran untuk memfasilitasi pengembangan kapasitas dan keterampilan para pekerja gig economy juga dibutuhkan untuk menaikkan nilai tawar para pekerja sehingga dapat bekerja pada platform gig economy atau pekerjaan lain yang mampu memberikan penghasilan lebih besar.
Sebagai jaring pengaman sosial, pemerintah dapat membuat skema perlindungan sosial yang feasible bagi pekerja gig economy meliputi asuransi kesehatan, tunjangan hari tua, dan tunjangan yang dibutuhkan ketika kehilangan pekerjaan. Perlindungan sosial dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi tingkat kemiskinan.
Dalam kaitannya dengan perlindungan sosial, pemerintah juga perlu menyusun regulasi yang meredefinisi hubungan kerja antara pekerja gig economy dengan penyedia platform sehingga pekerja tetap mendapatkan perlindungan sosial baik secara mandiri maupun penyedia platform aplikasi sebagai pembayar iuran jaminan sosial.
Peran pemerintah baik dalam bentuk kebijakan fiskal maupun non fiskal sangat penting bagi ekosistem gig economy. Melalui kebijakan pemerintah yang inklusif dan berkeadilan, ekosistem gig economy diharapkan tidak lagi menjadi sumber ketidakpastian namun menjadi masa depan masyarakat yang lebih sejahtera.(*)
Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi.
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Rabu, 2 Oktober 2024
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2024/10/rabu-2-oktober-2024.html