Gig Economy: Masa Depan atau Sumber Ketidakpastian Ekonomi

Dedi Supriadi

Sekitar 20% pekerja gig economy harus bekerja lebih dari 100 jam per minggu untuk dapat hidup layak. Jam kerja yang berlebihan membuat pekerja gig economy merasa tereksploitasi dan merasa bahwa fleksibilitas itu hanya nisbi.

Forbes menyebutkan pekerja gig economy yang tidak mempunyai keterampilan khusus dan menjadikan pekerjaannya tersebut sebagai mata pencaharian utama seringkali merasa tereksploitasi.

Kemudahan bekerja di ekosistem gig economy yang tidak membutuhkan pendidikan dan keahlian tertentu menjadi sebuah jebakan sehingga para pekerja tidak dapat mengembangkan dirinya.

Kondisi ini disebabkan jenis hubungan kerja antara pekerja dengan penyedia platform bukanlah seperti antara penerima pekerjaan dan pemberi pekerjaan. Hubungan mereka dalam gig economy hanyalah sebagai “mitra” dalam bekerja.

Selayaknya hubungan kemitraan, maka penyedia platform tidak berkewajiban untuk mengembangkan kompetensi para pekerja gig economy. Dengan jumlah pekerja pada sektor gig economy yang semakin meningkat, maka dikhawatirkan dalam jangka panjang akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia Indonesia.

Peran Kebijakan Pemerintah
Kebijakan yang inklusif diperlukan agar gig economy tidak sekedar khayali tetapi juga menjadi sarana meningkatkan kesejahteraan masyarakat di masa depan.

Terdapat beberapa kebijakan yang perlu disusun untuk mendukung pengembangan gig economy, yaitu pengenaan pajak yang adil dan inklusif, pembangunan infrastruktur teknologi yang merata, perlindungan sosial pekerja, dan pengembangan kapasitas SDM pekerja gig economy agar memiliki nilai tawar lebih tinggi dalam ekosistem gig economy.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5 6

Komentar

Loading...