Pemasyarakatan; Sebuah Antitesa “Blame the Woman Syndrom”

Lewat pengenalan pekerjaan domestik yang dibagi rata antara anak laki-laki dan perempuan karena sifatnya genderless Lalu, disusul dengan sekolah yang bisa jadi ruang pendidikan bertahap perkenalan keadilan gender lewat kurikulum atau materi yang menormalisasi materi tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi.

Terakhir, bisa lewat institusi keagamaan yang harus bisa melakukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat yang dianggap tidak adil gender dan membumikannya ke masyarakat luas.

Harapannya dengan ini semua, ketidakadilan gender baik dalam perilaku dan cara pandang bisa sedikit demi sedikit terkikis, dari level keluarga hingga negara.

Peran Negara melalui Proses Peradilan Pidana (Pemasyarakatan)
Pandangan  blame the women syndrome ini tentu sangat berbahaya karna menyasar hampir pada seluruh prepeksif, sebab ada hak perempuan yang berpotensi hilang atau tidak di akomodasi dengan baik ketika mereka melakukan tindak kejahatan.

Lantas bagaimana Perempuan melalui Proses Peradilan Pidana? Terutama proses Pemsayarakatan, proses yang secara prinsip punya pengaruh signifikan terhadap kesadaran moral yang menjadi penentu.

Apakah ada pengulangan kejahatan ataukah perempuan secara sadar merenungi dan menyadari bahwa perbuatan melawan hukum tidak hanya ada penjatuhan hukuman pada dirinya sebagai manusia dan warga negara, tetapi juga sebagai perempuan.

Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi, kalimat tersebut merupakan prinsip dasar dalam hukum dan hak asasi manusia.

Perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan hukum juga menjadi salah satu hal yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 28 huruf D ayat (1).

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Komentar

Loading...