Pemasyarakatan; Sebuah Antitesa “Blame the Woman Syndrom”
Oleh: Abubakar Ismail
(Seorang ASN, Mahasiswa dan Pelari Siput)
Tagline pemberitaan media masa Indonesia memuat sebuah peristiwa kejahatan pembuhunan terhadap seorang anak perempuan berusia lima tahun, sadisnya pembunuhan sementara diduga bermotifkan hal yang secara logika tidak dapat di hubungkan dengan bocah malang tersebut. Jasad korban di temukan pada Kamis (19/9).
dari hasil pemeriksaan forensik korban telah meninggal dua hari sebelum jasadnya di temukan. Terlepas dari samua hal yang menitikberatkan penetapan tersangka pelaku pembunahan anak ini, ada hal menarik yang perlu kita bahas.
Yang seksi dari kasus ini yakni keterangan Polisi setelah melakukan penagkapan terhadap pelaku, hal yang ramai adalah; “tiga dari lima pelaku pembunuhan adalah perempuan.” Dan dari hasil pemeriksaan Polisi, disimpulkan bahwa eksekutor pembunuhan ini adalah seorang perempuan.
Bnyak yang tidak sadar akan hal ini, maka pantas jika pertanyaan, “mengapa ada pemisahan secara gender dalam setiap peristiwa hukum semacam ini?” Mengapa ketika pelaku tindak pidana merupakan seorang perempuan.
Pemberitaan media semacam menganut satu genre yakni mengangkat tagline perempuan lebih dominan dari pada laki-laki yang seberanya sama-sama melakukan kejahatan? Ayok kita dalami bersama.
Dalam kriminologi, kita mempelajari bahwa ketika perempuan menjadi pelaku kejahatan, ia bukan hanya di lebeli sebagai penjahat, tapi juga karena ia perempuan.
Bahkan ketika menjadi korban, perempuan tetap di salahkan melalui “blame the woman syndrom,” sebuah mitos lama yang memandang bahwa perempuan itu bertanggung jawab. Perempuan itu provokatif, itu sebabnya dia diperkosa.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar