Pemasyarakatan; Sebuah Antitesa “Blame the Woman Syndrom”

Dengan demikian, perempuan harus terus-menerus berjuang untuk hak mereka. Hukum selalu berkolusi untuk menindas perempuan dan dilakukan dengan prinsip-prinsip yang menguntungkan laki-laki. Menurut Miller-Prieve, standar sosial dan budaya yang dikenakan pada perempuan dapat menyebabkan evaluasi diri yang negatif ketika mereka tidak memenuhi standar “ideal” tersebut.
Tekanan untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma yang diidealkan ini berdampak pada berbagai aspek kehidupan perempuan, termasuk bagaimana mereka dianggap sebagai korban dalam kasus pemerkosaan.
Sulitnya label negatif ini hilang karena dalam tataran teologis, sindrom Blame the Woman muncul juga dilanggengkan dari kisah Adam dan Hawa. Adam dibuang ke Bumi karena ia telah memakan apel terlarang atau buah khuldi kendati sudah dilarang oleh Tuhan.
Dalam berbagai tafsir agama, tindakan Adam ini adalah akibat langsung dari godaan Hawa yang sebelumnya sudah mencicipi buah itu terlebih dahulu karena bisikan setan.
Ini disampaikan oleh Michelle Charness JD, mantan asisten jaksa wilayah Middlesex County, Massachusetts, Amerika dan Pekerja Sosial Klinis Berlisensi dalam artikelnya di Psychology Today.
Meskipun kisah Adam dan Hawa ini sudah mengalami banyak penafsiran ulang yang lebih progresif, dalam tafsir agama Islam, termasuk Buya Hamka, pandangan bahwa Adam melakukan dosa karena godaan Hawa masih jadi tafsir dominan di masyarakat.
Itu diajarkan dari generasi ke generasi menjadi mitos dan jadi bagian tak terpisahkan dalam berbagai cerita rakyat. Dengan menyalahkan perempuan, maka cerita rakyat akan tetap eksis, terlebih bagi masyarakat patriarkis yang menuntut banyak tentang perempuan agar tetap sesuai standar yang ada.
Apa yang disebut-sebut sebagai blame the women syndrome semakin memenuhi laman media sosial belakangan ini. Perempuan dianggap satu-satunya sumber permasalahan dalam suatu kasus kejahatan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar