Pemasyarakatan; Sebuah Antitesa “Blame the Woman Syndrom”

Mengenai penganiayaan yang dilakukan seorang laki-laki bernama Mario Dandy terhadap Cristalino David Ozora. Penganiayaan dilakukan atas dasar aduan perempuan AG yang disebut-sebut sebagai teman Mario Dandy sekaligus mantan pacar David.
Menurut keterangan pers Polisi, AG mengaku kepada Mario Dandy bahwa ada yang memperlakukan kurang baik terhadap dirinya (David). Hal itulah yang menyebabkan Mario Dandy menjadi emosional dan mencoba mengonfirmasi hal tersebut kepada David.
Akan tetapi pertanyaannya tidak terjawab. Oleh karena itu, Mario Dandy lantas mendatangi langsung korban yang saat kejadian sedang bermain ke rumah temannya (detikNews, 2023).
Itu adalah sedikit dari banyaknya peristiwa blame the woman syndrome. Secara definisi, blame the woman sydrom adalah pelebelan negatif kepada perempuan.
Karena perempuan memiliki lebel yang melekat dengan kata “seharusnya”. Perempuan “seharusnya” bersikap baik, penyayang, lemah lembut, penuh kasih, dan sifat-sifat keibuan.
Ukuran moralitas perempuan yang sanggat tinggi menyebabkan satu stigmatisasi terhadap perempuan yang terlibat tindak kejahatan atau peristiwua pidana.
Masyarakat cenderung mengaitkan standar moral yang seharusnya melekat pada diri perempuan, ia kemudian di hujani sanksi sosial, juga di iringi dengan stereotipe masyarakat tentang perempuan yang licik dan provokatif, yang tentu bertentangan dengan pakem di masyarakat yang menganggap perempuan harus selalu bersikap baik.
Budaya patriarki pada akhirnya sangat berpengaruh terhadap munculnya konsep blame the woman syndrome. Seperti yang disebutkan oleh Hamid (2021) dalam penelitian mengenai “Exploring Victim Blaming Attitudes in Cases of Rape and Sexual Violence: The Relationship with Patriarchy”, patriarki telah menjadi dasar dan ditanamkan melalui berbagai struktur dan diperkuat dari generasi ke generasi.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar