Pemasyarakatan; Sebuah Antitesa “Blame the Woman Syndrom”

Perempuan itu angkuh, itu sebabnya dia dilecehkan. Ketika melakukan kejahatan yang sifatnya genderless, perempuan tidak akan lepas dari “bagaimana seharusnya perempuan itu di kenal/dianggap sebagai perempuan.
Seolah-olah kejahatan itu hanya di miliki laki-laki. Kita tentu sedikit banyak menemui kasus yang menganggap perempuan adalah “dalang” dibalik peristiwa tersebut?
Istilah blame the woman syndrome menjadi jawabannya. Istilah ini sudah sejak lama muncul di luar negeri. Salah satu contoh kasus yang pernah terjadi di Amerika Serikat yaitu kasus Shirley Draper dari Wimberley, Texas yang didakwa oleh dewan juri atas kematian kedua putrinya.
Ia didakwa karena tidak mencegah anak-anaknya masuk ke mobil yang dikemudikan ayah mereka saat mabuk. Pada akhirnya, suaminya membunuh anak-anak mereka ketika keluar dari jalan raya dan berakhir masuk ke kolam.
Akan tetapi, Shirley Draper yang disalahkan atas kematian mereka. Dewan juri Hays County mendakwa Shirley Draper dengan dua dakwaan yaitu mencederai dan membahayakan anak.
Jaksa mengatakan, sang ibu harus bertanggung jawab atas kematian anak-anaknya meskipun dia bukan pengemudi dan bahkan tidak berada di dalam mobil pada saat kecelakaan tersebut.
Di Indonesia terdapat kasus yang beredar dan menjadi konsumsi publik Putri Cendrawati dalam kasus Sambo dan Agnes Gracia dalam kasus Mario Dandy, merupakan dua perempuan yang terjerat kasus kriminal serius dan disorot semua media.
Tidak disangkal bahwa keduanya terlibat perbuatan keji dan pantas dihukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun ada saja yang mengolah peristiwa ini dengan menjadi narasi untuk memperkuat stigma “pempuan sebagai sumber kejahatan laki-laki”.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar