Menyimak Wajah-Wajah Manusia di Pentas Sejarah

Ikut duduk di istana megah bersama penghuni lainnya. Namun pada saat yang lain, ia juga suka menyendiri ditempat sunyi, asyik dengan pikiran dan renungannya.

Daya imajinasinya yang tajam menerawang, mengembara menjelajahi langit nan biru, meninggalkan bumi tempat berpijak dan kemudian melupakan kenyataan. Ia (filosof) memang amat bergairah untuk memahami kebenaran dan hakekat kebenaran.

Hanyut dalam pikiran-pikiran yang dalam dan “ganjil” terpenjara oleh sekelompok manusia dan kaum terpelajar yang mengaguminya. Makin cepat ia bergerak, makin jauh ia dari kehidupan nyata dan “rendah” ini serta dari keinginan dan selera umum.

Ia dengan asyik masuk mereka-reka pikiran “ganjilnya” yang terasa begitu “eksklusif” susah dan rumit. Sesungguhnya hakekat kebenaranlah yang dicari sang filosof.

Namun hanya kaum filosof jualah yang mampu menjawab dan menjalankan rinciannya, atau boleh jadi hanya orang yang gandrung dengan logika yang dapat menerangkan hasil renungannya, tidak termasuk para “ummiyun” (kaum awam) bahkan sama sekali tidak faham atau hampir tidak mau faham serta terpengaruh dengan hasil renungannya.

Jika sang kaisar meninggal dunia, hanya sanak keluarga dan mungkin juga penghuni istana lainnya ikut meratap dan menangisinya. Sedangkan masyarakat umum mengumpat, memuji syukur, karena terbebas dari intimidasi dan eksploitasi sang kaisar.

Berbeda dengan sang filosof yang meninggal dunia, hanya pustakawan dan akademisi yang meratap tangis, sedangkan kaum ummiyun tidak tahu apa-apa, bahkan tidak merasa kehilangan apa-apa.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4

Komentar

Loading...