Catatan

Membaca Masa Lalu dengan Kacamata Poskolonial

Moksen Idris Sirfefa

Sejak terbitnya Orientalism dan Culture and Imperialism karya Said, pendekatan yang bersifat poskolonial telah menjadi bidang kajian internasional yang meluas.

Dalam dekade-dekade terakhir ini banyak teoritisi yang mengadopsi gagasan-gagasan Said atau mengembangkannya. Ada Gayatri Spivak (1988) yang memberi penekanan pada gender dan 'subaltern' dalam esainya yang terkenal "Can the subaltern speak?".

Bill Ashcroft, Gareth Griffiths & Helen Tiffin dalam The Empire Writes Back, Theory and Practice in Post-Colonial Literatures (1989) memusatkan perhatian pada penulis-penulis dari wilayah koloni terdahulu yang 'menulis balik'.

Dalam Playing in the Dark, Whiteness and the Literary Imagination (1992), Toni Morrison menyusun konsep 'the Other' dan membuat pengelompokan terhadap strategi-strategi othering; mekanisme eksklusivitas yang merepresentasikan penduduk asli sebagai sang Liyan.

Selain itu, Marry Louise Pratt dalam bukunya yang terkenal Imperial Eyes, Travel Writing and Transculturation (1992, versi revisi 2008) mengkaji cerita-cerita perjalanan dan memperkenalkan konsep contact zone; ruang kultural tempat orang Barat dan 'sang Liyan' bertemu dan relasi kuasa antar keduanya ditentukan oleh disrkus kolonial.

Pada tahun 1990-an Homi Bhabha mengenalkan konsep-konsep seperti hibriditas, mimikri dan 'third space,' misalnya dalam Location of Culture (1994).

Sebuah karya sintetis yang menghasilkan kesimpulan-kesimpulan terpenting dalam postcolonial studies adalah buku Elleke Boehmer, Colonial and Poscolonial Literature, Migrant Metaphors (1995, cetakan kedua 2005).

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5 6 7

Komentar

Loading...