Pilkada: Siapa Menang, Siapa Kalah?

Pertama, politik uang (money politic). Praktik politik ini ibarat lingkaran setan yang sulit diputus. Salah satu penyebabnya karena tingginya ongkos politik dalam pilkada maupun pemilu langsung. Sebut saja mahar politik dari kandidat untuk parpol, yang mana kerap dianalogikan sebagai “bensin pembakar” bagi bekerjanya “mesin partai” dalam pemenangan kandidat. Ongkos politik itu barangkali belum termasuk operasional saksi, tim sukses, biaya kampanye, serta biaya pemeliharaan basis sampai hari pemungutan suara di TPS-TPS.

Tingginya ongkos politik tentu menggiring para pelaku politik untuk terjun dalam praktik politik uang yang kian masif terjadi saat ini. Dari riset yang dilakukan KPK, sekitar 80 persen peserta pilkada menggunakan uang dari sponsor, entah itu pemilik modal maupun investor politik. Hasilnya, para kandidat yang memenangkan kontestasi pilkada, harus mengembalikan hutang dan membayar tagihan dalam bentuk memberikan kontrak serta menerima suap (Sulistyo/Kompas, 2021).

Politik transaksional yang awalnya hanya pada level elite kini telah turun dan mengakar dalam mental dan sikap para pemilih (masyarakat). Per hari ini, pilkada rasanya kurang lengkap bila tidak disertai dengan bagi-bagi uang, sembako, dan barang kejutan lainnya. Barang-barang tersebut seakan menjadi instrumen strategis yang dinormalisasi bagi kemeriahan sebuah pesta rakyat. Momen yang seolah-olah dinantikan oleh para “penjual maupun pembeli” suara.

Kedua, politik baku hantam. Ruang politik seolah-olah dilihat sebagai gelanggang kalah-menang bagi pertarungan hidup-mati elite maupun tim pemenangan. Logika demikian dominan dalam setiap perhelatan politik. Sejumlah strategi taktik diracik sedemikian rupa untuk menghantam calon lain.

Kampanye hitam (black campaign) adalah salah satunya. Menyebarkan fitnah, informasi palsu, dan hoax untuk merusak citra calon lain seolah-olah dibenarkan begitu saja. Lihat saja berbagai macam akun palsu yang bertebaran di media sosial. Akun-akun itu dibuat bukan untuk promosi baik kandidat calon, tetapi justru digunakan sesadis mungkin guna melancarkan pesan hasutan dan serangan terhadap rival politik.

Dua praktik politik tersebut barangkali hanya sebagian dari banyak bentuk praktik politik tak beradab lainnya. Seperti halnya penggunaan fasilitas negara untuk kampanye, adanya intimidasi, mobilisasi, dan pemaksaan dalam memilih, suap-menyuap, politik identitas berbasis rasial dan agama, manipulasi daftar pemilih, dinasti politik, dan masih banyak lagi.

Pilkada yang diwarnai oleh berbagai praktik sebagaimana disebutkan itu justru berangsur-angsur akan menciptakan ketidakpercayaan politik (political distrust) dari masyarakat selaku pemegang hak pilih.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4

Komentar

Loading...