Pilkada: Siapa Menang, Siapa Kalah?
Oleh: Roberto Duma Buladja
(Aktivis asal Galela, Pengajar di UKSW Salatiga)
Beragam selebrasi penuh keriuhan tampak memenuhi sepanjang badan jalan raya. Masing-masing pasangan calon (paslon) Kepala dan Wakil Kepala Daerah sedang diarak oleh massa pendukungnya menuju ke kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) di setiap daerah. Akhirnya, tahapan pendaftaran paslon dalam Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) tahun 2024 telah rampung dan selesai.
Meski penetapan paslon terhitung sebulan lagi, tetapi setidaknya publik telah mengetahui berapa jumlah paslon dan siapa saja sosok yang akan berkompetisi. Semua tampak terang dan jelas, setelah sekian lama saling tarik-ulur dalam lobi-lobi dukungan partai politik (parpol).
Pilkada serentak yang berlangsung di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota di Indonesia juga terbilang sengit dan kompetitif. Mengingat sebelumnya, putusan Mahkamah Konstitusi (baca: putusan MK 60/PUU-XXII/2024) memberikan kelonggaran ambang batas parlemen dalam mengusung calon kepala daerah. Putusan MK tersebut kian membuka “kran demokrasi lokal” bagi bermunculannya kandidat-kandidat alternatif di setiap daerah.
Pilkada 2024 pasca putusan MK sekurang-kurangnya berkontribusi bagi penguatan demokrasi dalam dua hal. Pertama, berantakannya skenario politik penciptaan paslon tunggal lawan kotak kosong, maupun “paslon boneka” yang selama ini diupayakan oleh kelompok politik tertentu.
Kecilnya angka persentase ambang batas ini telah mengantar parpol untuk dapat mengusung calonnya sendiri. Putusan MK ini terbilang cukup sukses dalam mematahkan intrik politik “memborong” rekomendasi parpol.
Kedua, dengan banyaknya pasangan calon (paslon) kepala daerah, maka iklim kontestasi politik lokal semakin terbuka dan dinamis. Paslon yang bervariasi juga diandaikan dapat mendorong naiknya angka partisipasi politik dari warga masyarakat. Hal kedua ini juga sekaligus membuka ruang kompetisi yang relatif adil dan setara bagi kandidat maupun parpol.
Praktik Politik Tak Beradab
Ambang batas parlemen yang dinilai demokratis itu tidak serta merta menjamin seluruh proses dan hasil pilkada mengarah pada kemajuan demokrasi lokal yang diidealkan. Lagi dan lagi, momentum pilkada masih dihantui oleh beberapa praktik politik yang dinilai sudah usang dan tidak beradab.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar