“Rindang dan Hijaunya Daun Cengkeh di Tafasoho”
Sebuah catatan singkat, (Yazhar)
____
Keberadaan suatu bangsa tidak akan pernah lepas dari proses dan perjalanan panjang sejarah pada masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang, sejarah menduduki peranan penting dalam membentuk watak dan peradaban suatu bangsa, tepatlah yang di katakan Bung Karno, (Jasmerah) Jangan sekali-kali melupakan Sejarah. Dari suatu kejadian masa lampau barulah orang akan tau bahwa memahami masa lampau adalah kompas menuju masa depan.
Bermula dari sumber-sumber tulisan sebelumnya, lahirlah inspirasi menulis Rindang dan Hijaunya Daun Cengkeh di Tafasoho, Sebuah Permukiman dengan jumlah penduduk -+300 kepala keluarga (KK), tempat dimana sejarah pernah terukir disini, Hikayat menjelaskan tafasoho juga turut andil atas keterlibatan nya dalam sejarah perseteruan dagang di bumi Maluku kie Raha bahkan manca negara, dengan potensi perdagangan dan perekonomian yang subur inilah, tafasoho terlibat aktif mewarnai pasar global manca negara di tahun 1343, tafasoho di sebut-sebut juga memiliki potensi bandar perdagangan rempah-rempah di Maluku bahkan manca negara khusunya di Kawasan pulau makian, dimana saat itu seorang Sultan Ternate bernama Tulu Malamo pernah melakukan penyerbuan ke pulau makian dengan misi menguasai rempah-rempah (cengkeh) Karena di Pulau (Makian) adalah penghasil cengkeh dengan kualitas Cengkeh Prima (cengkeh Raja) cengkeh berkualitas terbaik (Amal Thn. 2010 Hal. 62).
Berikutnya pada bulan Juli tahun 1605 sebuah kapal inggris pimpinan Henry Middleton sebelum berlabuh di perairan Ternate, kapal itu berhasil singgah di pulau makian untuk membeli cengkeh sebanyak 16 Ton. Seorang Henry Middleton adalah pedagang swasta (country trader) dari Inggris, yang mencoba melakukan transaksi dagang di wilayah VOC (maluku) di masa itu atas hasil transaksinya ini dia mendapat reaksi keras terutama dari unsur-unsur VOC. Tidak hanya itu, (Kesultanan Ternate) di masa Sultan Sida Arif Malamo tahun (1317-1331) pun berdatangan pedagang dari manca negara yakni dari cina, arab, dan Gujarat dan pedagang Nusantara yang datang dari Jawa, Malaka, dan Makassar, ini mulai menetap dan membuka pos-pos niaga, di Ternate, Tidore, dan Makian. (A.amal 2010. Hal. 59).
Keikutsertaan peranan makian wabil khusus tafasoho dalam kancah perdagangan global bukan semata-mata untuk tampil sebagai penyokong kebutuhan asing, melainkan Tumbuhan rempah cengkeh adalah komoditas endemik, yang di miliki masyarakat makian di masa itu, sebagaimana di ketahui awalnya cengkeh hanya tumbuh di beberapa daerah saja yakni pulau Ternate, pulau Tidore, pulau moti, pulau Bacan dan pulau makian, selanjutnya menyebar ke seluruh Indonesia hingga saat ini. Sementara Pada konteks jaringan perdagangan ada 3 hal yang menjadi sumber keberhasilan kepulauan Maluku menempati posisi penting perdagangan internasional yaitu.
Pertama kemampuannya mempertahankan komoditas yang khas sehingga selalu di butuhkan. Kedua kemampuan mengatasi keterbatasan dengan melakukan konsolidasi kedalam jejaring regional dalam bekerjasama memenuhi kebutuhan. Ketiga kemampuan untuk mempertahankan jejaring hubungan dengan dunia luarnya. (Tanudirjo. 2013.5)
Uraian di atas dipandang penting untuk diangkat kembali ke permukaan dan diskusikan lagi tentang peran serta kontribusi tafasoho digaris terdepan perdagangan rempah-rempah di pulau makian, maluku dan pengaruhnya cengkeh Raja terhadap pedagang-pedagang manca negara yang datang dari Arab, Cina, Persia Ghurajat serta pedagang-pedagang Nusantara.
Jauh sebelum Belanda (ternate) menyerbu pulau makian yang di pimpin oleh sultan ternate (tulu malamo), pulau makian sebelumnya di kuasai oleh tidore yang bersekutu dengan Portugis. Dalam persekutuan itu mereka berhasil untuk mendukung upaya monopoli cengkeh dikawasan tersebut.
Dan Untuk menjaga teritorial kekuasan rempah-rempah di pulau makian maka di bangunlah benteng sebagai tempat pertukaran hasil dagang serta menjaga agar cengkeh tersebut tidak keluar dari wilayah kekuasaan Portugis (tidore). oleh Abas di tahun (2001). Benteng tersebut adalah;
1. Benteng MAURITIUS dengan titik Lokasi disisi timur pulau makian secara geografi berada di perbukitan dengan ketinggian -+50 MDPL dengan jarak -+500 meter dari Pantai.
2. Benteng POEWATI, benteng ini sebelumnya telah di bangun oleh Johan Ottens pada tanggal 24 oktober hingga 5 desember 1634, berlokasi di desa sangapati berada di ketinggian sebuah tebing pantai
3. Benteng TAFASOHO berada dititik Lokasi administrasi desa mateketen berjarak sekitar 500 meter dari Pantai, secara geografis meletakan benteng berada di sisi barat daya pulau makian.
4. Benteng Wailoa (Tabulolo) secara administrasi berada di desa wailoa kecamatan pulau makian, benteng ini berada di atas perbukitan berjarak sekitar 50 meter dari Pantai, titik Lokasi benteng berada di sisi Tenggara pulau makian. (Mansyur, benteng kolonial Eropa di pulau makian & moti 28/09/2015)
Di tahun-tahun berikutnya setelah ternate (Belanda) berhasil mengalahkan tidore yang bersekutu dengan Portugis, ternate (belanda) tidak hanya bertujuan memperluas wilayah kekuasaannya, namum lebih dari itu terselip misi perdagangan dan penguasaan kembali rempah cengkeh Raja di makian, termasuk dalam rangka menjaga stabilitas hasil perdagangan Belanda (ternate) membangun kembali benteng-benteng tersebut.
Adanya bukti peninggalan benteng-benteng tersebut tak terkecuali benteng TAFASOHO sebagai salah satu benteng yang cukup luas di wilayah Barat Pulau Makian, dapat ditarik sebuah hipotesis secara komperhensif, bahwa tafasoho pada saat itu telah sangat berpengaruh erat dengan potensi perdagangan dan suplai produksi yang cukup besar yang sangat dibutuhkan pada masa itu, tidak menutup kemungkinan daerah ini juga memiliki potensi sebagai pusat pemerintahan Pulau makian.
Sebagaimana dewasa ini Sekitar tahun 2015 Naskah penelitian Syahrudin Mansyur, tentang benteng kolonial Eropa di pulau makian & moti 28/09/2015. Menyebutkan bahwa Tafasoho merupakan permukiman yang sudah cukup besar pada saat itu, kemudian Thom Pires mengatakan bahwa di Banda, Hitu, Makian, dan bacan sudah terdapat kehidupan masyarakat sejak 50 tahun sebelum Portugis tiba di Maluku.
Atas misi perdagangan inilah selanjutnya Ternate yang bersekutu dengan Belanda bersepakat menjadikan Ngofakiaha yang dipilih Belanda (Ternate) sebagai pusat utama perdagangan cengkeh di pulau makian untuk mendukung upaya monopoli cengkeh. (Abas tahun.2001).
Selanjutnya kondisi kekinian Tafasoho khususnya serta Pulau makian pada umumnya, baru mulai kembali aktif melakukan penanaman cengkeh lagi, setelah tahun 1988 pulau ini mengalami erupsi gunung kie besi yang cukup besar sehingga memuntahkan lahar abu vulkanik di beberapa titik termasuk Tafasoho, abu vulkanik tersebut berketinggian hingga atap rumah warga.
Beberapa hikayat menyebutkan letusan gunung kie besi tersebut bukan hanya di tahun 1988, melainkan sudah sepuluh kali mengalami erupsi dan puncaknya di tahun 1988 M.
Dengan berkompas pada sejarah yang pernah ada, berharap suatu saat (Tafasoho ) kembali sebagai pusat perdagangan cengkeh dangan kualitas terbaiknya yang pernah ada dan kembali mewarnai pasar-pasar rempah-rempah baik sekala regional, nasional, maupun internasional, dengan demikian masyarakatnya secara otomatis ekonomi nya akan meningkat dengan sendirinya.
Tentunya hal ini bukan hanya sebagai harapan kosong belaka namun bagian dari upaya persuasif ke arah yang Lebih baik. (*)
Komentar