Oleh: Andi Sumar Karman
(Pengajar di Program Studi Antropologi Sosial Unkhair, Peneliti di Yayasan The Tebings)
Setelah riuh rendah pemilihan legislatif usai beberapa waktu lalu, kini kita jelang pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk provinsi Maluku Utara dan beberapa kabupaten/kota di provinsi ini.
Hiruk-pikuk ini tidak hanya terjadi di sini. Di Jakarta dan beberapa daerah lain di Indonesia juga tak kalah ramainya dalam hal pilkada.
Malahan, Jakarta paling ramai dengan isu pilkada. Tetapi isu di Jakarta dan Jawa nyaris terserap dalam pusaran wacana trah Jokowi di pilkada. Anaknya, Kaesang Pangarep, mengayun di antara harapan Jakarta dan Jawa Tengah sebagai calon gubernur.
Sementara menantunya di Sumatera Utara, Bobby Nasution, bertarung dalam helatan pertarungan para calon pemimpin di provinsi itu.
Jika pun saya kurang bersimpati dengan kepemimpinan Jokowi akhir-akhir ini, salah satunya adalah ‘cawe-cawe’ dia dalam memosisikan anak-anak dan orangnya di posisi politik tertentu.
Kalau perlu, aturan diutak-atik demi hasrat kekuasaan. Gonjang-ganjing terkait Mhkamah Konstitusi beberapa waktu lalu menjadi buktinya.
Di luar ‘kejahatan’ itu, tentu semua orang, warga negara Indonesia, berhak mencalonkan diri menuju kursi tertinggi pada tingkatan tertentu di daerahnya. Namun, dukungan kualitatif seorang calon penting menjadi perhatian.
Rekam jejak, kompetensi, dan kecakapan mengatasi permasalahan (Adi Prayitno, 2024) secara khas di wilayahnya adalah beberapa di antaranya.
Ini berlaku untuk semua petarung dalam hajatan demokrasi di tingkat daerah pada November nanti, termasuk di Maluku Utara.
Baca Halaman Selanjutnya..
Kita bicarakan pilkada dalam lingkup Maluku Utara saja. Selain Jakarta terlalu jauh dan ‘tinggi’ buat saya, Maluku Utara menjadi tempat saya hidup, dan begitu juga Anda sekalian.
Maka kita pantas dan boleh ‘nimbrung’ dalam perbincangan dan aksi kasak-kusuk para calon kepala daerah.
Kesibukan para bakal bakal calon memburu dukungan dan keputusan partai untuk menetapkan keberpihakannya kerapkali tak terduga untuk awam semacam saya.
Harian Malut Post temasuk salah satu media cetak yang paling intens mewartakan perkembangan wacana dan aksi para politisi di daerah ini. Selain melalui media massa daring, melalui media ini saya berpeluang ‘mengintip’ bara politik lokal kita belakangan.
Pilkada di Maluku Utara dan beberapa kabupaten/kota di daerah ini menurut saya seru sekaligus penting. Hajatan demokrasi nasional yang mengaras secara lokal di sini, serupa panggung tontonan (hiburan?) untuk sekejap.
Pesta demokrasi ini juga sekaligus memiliki peran penting. Sebab melalui momentum ini, nasib daerah kita ditentukan. Setidaknya hingga kurun waktu lima tahun ke depan selama kepemimpinan calon kepala daerah terpilih nantinya.
Penentu nasib
Siapapun yang terpilih sebagai kepala daerah, wali kota/bupati/gubernur, sudah pasti banyak tangan yang mencampuri kemenangannya.
Jalan panjang menuju ‘pemenang’, melibatkan proses rumit, berliku, dan mahal. Terhadap hal-hal ini, biarlah menjadi urusan kandidat dan kelompoknya. Namanya juga usaha.
Urusan kita sesungguhnya adalah, siapa yang akan kita pilih? Tepat pada titik inilah kita menjadi bagian penting dari arah nasib daerah, di mana kita menjalani kehidupan: bangun pagi, bekerja, beribadah, menyekolahkan anak-anak, menafkahi keluarga, mendapatkan layanan kesehatan, dst.
Baca Halaman Selanjutnya..
Nasib baik akan meliputi kita jika tepat memilih pemimpin. Gaji atau upah kita terima tepat waktu, mau itu honorer atau pun pegawai tetap (ASN). Program-program bantuan tidak meleset dari sasaran seharusnya. Kebalikan dari itu, petakalah yang kita dapati.
Tengoklah kehidupan masyarakat di sekitar aktivitas usaha pertambangan. Lahan-lahan pertanian/perkebunan milik petani terpaksa dilepaskan sebab korporasi telah bersekutu dengan pemerintah sehingga perampasan menjadi tampak legal.
Sungai dan mata air menjadi rusak atau cemar karena kuasa perusahaan tambang untuk mengeruk tanah. Hasil penelitian M Ridha Ajam dkk (2021; 2023) di Halmahera Tengah menegaskan hal ini.
Sementara oknum yang seharusnya bertanggung jawab atas kemaslahatan rakyat sesuai kewenangan dari instansi pemerintah yang dipimpinnya, tersumpal diam.
Jika pun bicara, maka pernyataannya “semua masih dalam ambang batas, masih normal”, atau nada lain yang seolah melindungi industri ekstraksi yang nyata-nyata merusak lingkungan itu. Media ini berkali-kali mewartakannya secara aktual.
Coba kita kenangkan lagi fenomena paling anyar dari Halmahera Tengah. Banjir menggenangi kampung-kampung. Sebelumnya, marak penolakan warga dan organisasi masyarakat sipil terkait dugaan tercemarnya sungai mereka.
Atas berbagai peristiwa – jika bukan bencana – yang menimpa masyarakat sekitar pertambangan, banyak warga berkata, ini akibat aktivitas pertambangan. Sementara pemerintahnya sibuk membela diri, termasuk membela perusahaan-perusahaan tambang.
Pulau-pulau kecil pun tak lepas dari usaha pertambangan. Meski jelas bertentangan dengan Undang-Undang, atas nama investasi, semua dibolehkan. Ini juga bukti betapa regulasi kita tumpang tindih satu dengan yang lain. Apa daya pemerintah daerah?
Peran pemerintah daerah
Tantangan yang dihadapi kepada daerah di daerah pertambangan, baik sebagai bupati maupun gubernur, lebih besar ketimbang daerah tanpa potensi pertambangan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Mengingat sektor pertambangan menjadi kewenangan pemerintah pusat, berdasarkan Undang-Undang Minerba, maka pemerintah daerah kehilangan dayanya.
Mereka lebih tampak sebagai suksesi pemerintah pusat dan tameng bagi perusahaan tambang dari pada menjaga martabat hidup warganya.
Saya menunjuk Kabupaten Halmahera Tengah sebagai contoh bagaimana pertambangan memiliki daya rusak terhadap lingkungan dan masyarakat.
Potensi tambang sendiri sebenarnya adalah berkah yang wajib disyukuri. Sebagaimana halnya ikan-ikan di lautan, serta kelapa, pala, cengkih, dan lain-lain di daratan.
Semuanya menjadi sumber penting penghidupan kita dari generasi ke generasi. Tetapi tambang memang memiliki karakteristik sendiri. Perlu teknologi tinggi untuk mendapatkan dan mengolahnya, termasuk penjualannya.
Keuntungannya juga memang tidak sedikit. Sebab itulah negara mengaturnya sedemikian rupa dengan berbagai regulasi sampai-sampai pemerintah daerah seperti terpasung di hadapan kelimpahan negerinya sendiri.
Dalam hal pertambangan nikel kita, inilah yang disebut Nicholas Bainton (2020) sebagai ‘kutukan sumber daya’ atau ‘paradoks kelimpahan.’
Simpulan Bainton ini didasari atas beberapa kajiannya terhadap hubungan antara pertambangan dan masyarakat asli (indigenous people). Tokoh lain lagi, Ciaran O’Faircheallaigh (2023).
Ia memaparkan dinamika politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang diciptakan oleh ekspansi pertambangan ke wilayah masyarakat adat (saya lebih senang menggunakan istilah ‘masyarakat lokal’).
Baca Halaman Selanjutnya..
Menurutnya, dinamika hubungan antara masyarakat adat dan pertambangan melibatkan penghancuran masyarakat adat, wilayah, dan budaya mereka.
Walakin, ia tetap meyakini bahwa masyarakat adat memiliki ketahanan yang luar biasa karena terbukti telah bertahan selama ribuan tahun.
Sayangnya, pemerintah daerah lebih sering tampil sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat dalam mengeksekusi atau melindungi kepentingan-kepentingan tambangnya di daerah.
Masih ingat ketika Luhut Binsar Panjaitan (LBP) dikukuhkan sebagai tetua adat di Halmahera Tengah? Mungkin beberapa dari kita bangga dengan hal itu.
Tapi, sadar atau tidak, penetrasinya ke dalam kelembagaan adat kita merupakan upaya politis untuk mencengkeram daya kritis masyarakat asli. LBP dan Jokowi adalah setali tiga uang.
Karena itu, lazim masyarakat tahu, ‘dikirimnya’ Ikram M Sangadji sebagai Penjabat Bupati Halmahera Tengah selepas Edi Langkara juga tak lepas dari kedekatannya dengan LBP. Itu wajar saja sebagai dua orang yang berteman, atau bentuk hubungan lainnya.
Kita bisa saja berbangga karena besarnya potensi tambang. Tapi segera setelah itu langsung miris sebab data kemiskinan justru tertinggi di daerah-daerah tambang: Halmahera Tengah dan Halmahera Timur.
Jokowi menghibur, Maluku Utara adalah provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi. Paradoks kesejahteraan, sekali lagi!
Menjadi pemimpin (bupati/gubernur) di wilayah penghasil tambang memang tidak mudah. Tekanan dari atas (pusat) cukup kuat. Sementara gejolak dari bawah (masyarakat sekitar tambang) sarat tuntutan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Belum lagi godaan dari para investor tambang. Bahkan, dua ormas besar NU dan Muhammadiyah terseret ke dalam godaan keuntungan ekonomi yang dapat diraup dari sektor ini.
Tak peduli peringatan dan cercaan sebagian umat, keduanya terus meyakinkan manfaat besar dan mudarat kecil dari berbisnis ini.
Terbaru, dari kasus bekas gubernur Maluku Utara, menantu Jokowi Bobby Nasution malah disebut-sebut terlibat bisnis tambang di Maluku Utara. Sungguh Maluku Utara memang menjadi medan magnet kuat yang sanggup menarik berlapis-lapis hasrat ke dalam pelukannya.
Campur tangan pusat sungguh mengaduk-aduk performa politik daerah ini. Walau akhirnya oknumlah yang bertanggung jawab sendirian manakala penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang itu terkuak.
Kasus yang menimpa bekas gubernur kita dapat menjadi pelajaran berharga bagi mereka yang gemar memangku jabatan.
Potensi tambang kita yang begitu dielu-elukan, justru di situ titik rawannya. Urusan izin usaha pertambangan (IUP) salah satu titik kritisnya.
Dari tingkat pusat hingga daerah ihwal IUP menjadi bahan bisnisan yang dialas dengan regulasi yang hanya menguntungkan segelintir kalangan. Masyarakat yang pada akhirnya menanggung dampak praktisnya.
Karena itu, sekali lagi, peran pemerintah daerah di sini sangat penting. Ini tidak hanya tentang tampuk pimpinan dan keberkuasaan semata.
Lebih dari itu, kemaslahatan bersama masyarakat terutama dalam gaya kepemimpinan seseorang yang disebut bupati atau gubernur. Tetapi mereka terpilih atau tidak, menang atau kalah, kitalah penentunya. Suara kita yang menentukan.
Saya sendiri akan memilih pemimpin yang berpihak pada keberlanjutan lingkungan. Sayangnya, isu ini sepi dari wacana para bakal kandidat. Mungkin masih sibuk mengurusi tiket pencalonannya di tingkat partai. Kita tunggu saja nanti. (*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Kamis, 8 Agustus 2024.