Site icon MalutPost.com

Tambang Datang, Cita Rasa Biakole Tak Lagi Sama

Kerang Kepah (biakole)

Weda, malutpost.com — Saat memasuki Dusun Lukulamo, Desa Lelilef, Weda, Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng), Provinsi Maluku Utara, hawa panas dan berdebu mulai terasa.

Kendaraan lalu Lalang melewati jalan. Aspal jalan nasional poros Weda-Patani itu tidak lagi utuh. Sebagian besar aspalnya telah tertutupi dengan tumpukan tanah yang sudah mengeras. Debu mengepul membungkus jalanan.

Di kanan, kiri jalan telah dipadati dengan bangunan. Hampir tidak ada space untuk lahan perkebunan. Semuanya telah hilang.

Diganti dengan bangunan rumah, warung, bengkel, pertokoan hingga rumah kost dan penginapan. Kondisi ini tentunya jauh berbeda dengan Dusun Lukulamo beberapa tahun sebelumnya.

Dusun Lukulamo kini menjadi penanda memasuki kawasan industri tambang nikel. Secara umum, sejak 2006 lalu, industri pertambangan di Halteng ditandai dengan masuknya PT Weda Bay Nikel (WBN). Perusahaan asal Perancis itu telah mendapat izin pelepasan kawasan hutan produksi (konversi).

Lalu, Maret 2011, PT WBN telah mendapat izin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan yang berlokasi di Teluk Weda. Mengutip dari Kontrak Karya (KK) Generasi VII Tahun 1998, PT WBN juga berhak atas konsesi pertambangan seluas 54.874 ha di Halteng dan Halmahera Timur (Haltim) dengan total Cadangan 132 juta ton biji dengan kadar nikel 1,0 persen sampai 1,4 persen (sumber: kabarpulau.id).

Ada juga PT. Trakindo Energi hingga yang terbaru PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang hadir sejak 30 Agustus 2018. IWIP merupakan Kawasan industri terpadu untuk pengolahan logam berat berlokasi di Desa Lelilef, Weda, Halteng.

Kehadiran perusahaan-perusahaan tambang ini memang tidak berada tepat di Dusun Lukulamo. Hanya saja, jaraknya cukup dekat dengan pusat aktivitas PT WBN dan IWIP.

Jarak tempuh sekitar 1 sampai 2 jam perjalanan menggunakan kendaraan roda dua maupun empat setara dengan 20 sampai 28 kilometer. Olehnya itu, dampak kerusakan lingkungan akibat dari aktivitas pertambangan pun terasa oleh warga dusun Lukulamo.

Baca halaman selanjutnya…

Salah satu dampak nyata yang terlihat sehari-hari, adalah perubahan warna air sungai Kobe. Dari jernih dan bening menjadi orenj dan kecoklatan.

Sungai Kobe sendiri berada tepat di Dusun III Lukulamo, Desa Lelilef Waibulen, Kecamatan Weda Tengah, Halteng, Maluku Utara. Sungai Kobe dikenal sebagai sungai terbesar diantara sungai-sungai lainnya yang ada di Halteng. Sungai Kobe memiliki Panjang 45 km dan luas Daerah Aliran Sungai (DAS) 814,32 km2. Sungai ini telah dikategorikan kelas dua untuk pertanian dan kebutuhan domestik.

Sungai Kobe yang tercemar.

Air Sungai Kobe yang bersih dan jernih, dimanfaatkan untuk memenuhi segala kebutuhan warga setempat, dari mandi, mencuci, hingga air minum. Selain airnya, sungai Kobe juga dimanfaatkan sebagai tempat sumber mata pencaharian. Juga sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari seperti mencari kerang putih (biakole) dan ikan air tawar mujair dan sumasi.

Kerang Putih atau Kerang Kepah, warga Dusun Lelilef menyebutnya biakole adalah jenis kerang yang biasa ditemukan di sungai-sungai besar atau hutan mangrove. Bentuk cangkangnya menyerupai piring, cembung dibagian tengah dan pipih di bagian pinggir serta berwarna putih.

Biakole memiliki peranan penting sebagai pengganti ikan dalam kebutuhan makan sehari-hari warga. Biakole bahkan dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan warga setempat. Namun, itu dulu. Kini, mulai berangsur berubah seiring perubahan warna air sungai Kobe. Kalau tidak orenj, berarti kecoklatan.

Maria Saidi (33), warga dusun III Lukulamo, Desa Lelilef Waibulen mengaku sudah berhenti mengonsumsi Biakole. Dulu, Maria bersama keluarga kerap berburu Biakole baik untuk keperluan makan sehari-hari atau untuk dijual. Namun, semenjak perubahan warna air sungai Kobe, Maria saat ditemui bilang tidak berani makan biakole lagi.

Mengutip hasil dan analisis Kualitas Lingkungan dan Potensi Dampak Lingkungan oleh Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) dalam “Dilema Halmahera Tengah di Tengah Industri Tambang Nikel” menyebutkan bahwa Sungai Kobe mengandung kadar sedimen yang tinggi. Sedimen tersebut dibawa oleh limpasan air hujan dari lahan gundul di area hulu sungai.

Baca halaman selanjutnya…

Mengutip hasil uji laboratorium yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Maluku Utara pada Juli 2023, ditemukan kualitas air sungai Kobe telah melampaui baku mutu. Tingkat kekeruhan akibat sedimentasi (Total Suspended Solid/TTS) air sungai Kobe mencapai angka 114.

Padahal, Tingkat kekeruhan menurut data ilmiah, paling tidak berada di angka 50. Sementara untuk kandungan bakteri coliform (yang berasal dari tinja manusia atau hewan), mencapai 1300 MPN/100mL.

angka tersebut telah melampaui standar baku mutu yakni 1000 MPN/100mL. Konsentrasi sedimen yang terkandung dalam sungai akan semakin tinggi seiring dengan meluasnya aktivitas pembongkaran lahan hutan.

Warga saat diwawacarai wartawan malutpost.com.

Torang (kami) tidak lagi makan bia, torang tra tau (kami tidak tahu) kandungan apa saja yang ada di dalam karena air yang tercemarkan kan dari limbah perusahaan jadi tidak berani makan,”ungkap Maria saat ditemui malutpost.com di rumahnya, Sabtu (30/3/2024).

Padahal, sebelumnya betapa pentingnya biakole dalam jamuan makan sehari-hari, hajatan maupun acara adat. Karena, bukan sebagai lauk pengganti tapi sebagai lauk utama. Alasannya, karena lebih mudah mendapatkan biakole dibandingkan ikan. Meski, untuk ikan air tawar kadang masuk dalam tangkapan warga juga. Hanya saja, warga tidak seminat itu terhadap ikan air tawar sehingga sedapatnya saja.

“Dulu waktu air masih jernih dan bersih terus pas musim panas, cukup berdiri di jembatan saja bisa dapa lia (kelihatan) orang berjejer-jejer cari biakole,”kenangnya.

Sayangnya, kebiasaan itu tidak lagi ditemui saat ini, kondisi air yang keruh membuat sebagian orang malas bahkan memutuskan berhenti mencari biakole.  

“Alasan pertama karena air, alasan kedua karena buaya,” lanjut Maria.

Meski begitu, menurut Ibu satu anak ini, adanya perubahan perilaku binatang buas satu ini akibat lingkungan tempat tinggalnya yang diganggu.

Semenjak kecil, dia bilang telah mendengarkan cerita dari para tetua soal buaya yang mendiami Sungai Kobe. Namun, semuanya baik-baik saja sampai yang terbaru kabar meninggalnya seorang anak kecil akibat digigit oleh buaya.

“Dari dulu sudah dengar soal buaya, tapi baik-baik saja. Tetapi, sekarang ini sudah buas bahkan sampai pernah memakan korban anak kecil,”sebutnya.

Ditemui saat bersama sang suami dan kedua tetangganya, Maria mengaku, sempat heran dengan kondisi air. Perubahan warna air ini baru terasa tak lama saat PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) hadir di Halteng. “Sebelum IWIP buka, dulu masih WBN tidak sampai kase rusak air,”akunya. Suami Maria dan kedua tetangganya pun mengangguk tanda setuju.

PT IWIP sampai saat ini tidak merespons sejumlah pertanyaan yang telah dikirimkan melalui humas via pesan WA. Pada 8 Juli lalu, penulis kembali dihubungi untuk diminta bersabar. Sebab, belum ada respons dari pimpinan PT IWIP.

Berbeda dengan Maria yang memilih tidak lagi mengonsumsi biakole maupun ikan dari hasil tangkap di sungai Kobe, Yunita Hi. Yusuf (47) mengaku masih mengonsumsi biakole. Meskipun, warna air sungai Kobe berubah. “Masih makan, pokoknya kalau lapar dan ingin makan ya turun ke sungai,”akunya. Di satu sisi, dia tetap mengeluh, karena tidak bisa lagi menggunakan air sungai untuk keperluan sehari-hari bahkan untuk minum.

“Sekarang so kotor, beda sekali dengan dulu. Dulu kalau jarum jatuh pun masih kelihatan,”kenangnya.

Kondisi air yang kotor, Yunita menganggap salah satu alasannya karena perilaku warga setempat. Warga kini abai dalam menjaga kebersihan lingkungan sekitar sungai. Padahal, Yunita bilang dulunya warga tidak pernah membuang sembarangan cangkang kerang. Semua orang bertanggungjawab menjaga kebersihan sekitar sungai.

Ditemui di tepi sungai Kobe, tepat di belakang rumahnya, Yunita tidak menapik ada perbedaan saat dalam mencari biakole dulu dan sekarang. “Semuanya ada bia cuman sekarang carinya sudah di bagian dara (hulu sungai) karena airnya tidak jernih apalagi kalau air penuh tidak bisa lihat apa-apa,”sebutnya.

Dari segi jumlah, ibu satu anak ini bilang tidak berkurang. Sebab, dia selalu mendapatkannya dengan mudah bahkan hingga dijual. Diakuinya, banyak pendatang suka makan biakole. “Dorang (mereka) sudah rasa enaknya bagaimana jadi mau makan lagi,”akunya.

Biakole dijual dengan harga 150ribu sampai 200ribu per karung. “Karung beras ukuran 20kilogram itu biasanya dijual Rp. 150ribu sedangkan yang 25kilogram itu 200ribu,”kata Yunita.

Sementara itu, kebiasaan mengonsumsi biakole, menurut para tetuah desa Lukulamo, Adrian Tawange (66) mengakui telah berkurang banyak. Kalau pun ada dalam kegiatan-kegiatan desa, itu pun jumlahnya hanya sedikit dan selalu menjadi rebutan warga. “Tidak wajib juga harus ada hanya saja makan biakole ini sudah menjadi kebiasan turun-temurun moyang kita dan masih dilakukan sampai sekarang oleh beberapa warga,”katanya.

Kebiasaan ini, berangkat dari kondisi desa saat itu, dimana akses untuk ke kota cukup jauh, pun ke laut, hingga memanfaatkan hasil alam yang ada di sekitar salah satunya sungai Kobe. “letak sungai yang ada di belakang rumah warga jadi mudah bagi warga untuk berburu biakole bahkan kadang dapat juga ikan air tawar lainnya,”sebutnya.

Ditemui di rumahnya, Adrian bilang kebiasaan berburu ini memang didominasi oleh kaum ibu-ibu rumah tangga. Sederhananya, para suami berangkat ke kebun, lalu para istri memanfaatkan waktu dengan berburu biakole sembari menunggu suami pulang dari kebun. “Ibu-ibu ini mereka kuat kalau berendam di air sementara bapak-bapak ini cepat dingin makanya ibu-ibu lebih banyak yang turun cari karena untuk mau dapat itu harus masuk ke air (setengah berendam),”kata Adrian menguraikan.

Terpisah, Penjabat Kepala Desa Lukulamo, Aklion Sangaji membenarkan kebiasaan mengonsumsi biakole oleh warganya. Dia bilang kebiasaan ini turun-temurun dari para tetua kampung yang masih terbawa hingga saat ini.

Olehnya itu, dia mengaku sulit untuk mengajak warga meninggalkan kebiasaan tersebut bahkan di tengah kondisi air sungai Kobe saat ini. Karena, secara kuantitas, biakole ternyata masih tetap ada dan banyak. Mau tak mau sebagian warga pun memilih tetap mengonsumsi Tak jarang para pendatang (terutama para pekerja tambang) ikut berburu dan mengonsumsi.

Namun, siapa sangka. Ternyata dari segi kualitas, lanjut Aklion mulai berbeda. “Berapa kali saya tanyakan ke warga itu mereka bilangnya warna dan rasa bia sudah berbeda,”akunya.

Sebagai Penjabat yang baru dilantik beberapa waktu lalu, Aklion menyebutkan tidak bisa berbuat banyak terkait kondisi sungai Kobe. Mereka sebatas berupaya agar warga maupun pendatang (pekerja tambang) tidak membuang sampah ke sungai.

“Karena kondisi airnya sudah seperti itu kita tidak berbuat banyak, palingan warga mengeluh soal banyaknya sampah rumah tangga yang dibuang ke sungai. Padahal, kami sudah buat semacam plang larangan untuk membuat sampah tapi kita tidak pernah tahu mungkin saja di malam hari mereka tetap membuang,”ucapnya.

Ketidakberdayaan itu, lanjut Aklion, bahwa pihaknya belum ada wacana untuk menghentikan aktivitas perusahaan tambang. Meski begitu, dia menegaskan pihak perusahaan seharusnya tidak perlu melakukan hal tersebut. Sebab, siapa saja bisa melihat sendiri keadaan yang ada.

“Tidak perlu kami dari Pemdes minta mereka hentikan karena mereka juga bisa lihat sendiri. Mereka lalu lalang melewati sungai Kobe jadi pasti lihat airnya sudah tidak seperti dulu,”sambungnya.

Keberagaman respons di masyarakat, dari yang memilih tetap mengonsumsi. ada yang memilih tidak lagi mengonsumsi karena takut dengan kandungan di dalamnya. Hingga ada yang tetap mengonsumsi meski rasanya tidak lagi sama.

Lantas, bagaimana salah satu organisasi  lingkungan yang konsisten menyuarakan hak-hak lingkungan hidup di Maluku Utara, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Maluku Utara.

Direktur WALHI, Faisal Ratuela menegaskan apapun yang bersumber dari sungai  tidak layak dikonsumsi dalam bentuk apapun. “Secara scientific perlu dilakukan riset secara mandalam, namun kami menganggap untuk konsumsi apapun dari sungai Kobe maupun sungai-sungai yang ada di sekitaran perusahaan tambang itu harus dihentikan,”tegasnya.

Sederhananya, Faisal bilang dilihat dari perubahan bentangan alam yang dilakukan secara masif. Kemudian mengakibatkan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang masuk dalam kawasan investasi pertambangan nikel sudah mengkhawatirkan kondisinya. “Sedimentasi yang masuk ke badan sungai sudah terkontaminasi dengan kandungan logam terutama nikel. Itu akan berdampak biota yang berada di sungai tersebut misalnya ikan atau jenis kerang,”terangnya.

Ikan dan kerang yang ada di sungai, lanjut Faisal, untuk bertahan hidup pastinya mengonsumsi plankton yang ada di sungai.

“Fakta dari lapangan yang tidak bisa diabaikan bahwa sudah tidak layak dan sangat mengkhawatirkan. Itu sudah kami buktikan dengan bertanya langsung dengan warga. Makanya, kami menduga sejak awal bahwa dari segi rasa itu akan berbeda karena biota yang hidup disitu dari kondisi kesuburan atau lingkungan sekitar itu mengandung unsur logam maka itu akan berpindah ke biota,”tambahnya saat ditemui di kantor WALHI, Komplek Kayu Merah, Ternate Selatan.

Bersama rekan-rekannya, Faisal menyebutkan riset WALHI di 2023 lalu menyatakan secara tegas bahwa kondisi lingkungan di laut  maupun di darat sudah mengkhawatirkan. Kondisi ini berdampak terhadap manusia yang hidup berdekatan dengan perusahaan.  Sebut saja warga desa Lelilef Lukulamo,  Lelilef Waibulen, Gemaf, Sagea, dan Trans Kobe.

Dia melihatnya sebagai kondisi bencana yang sangat parah terutama bencana kesehatan. Jenis penyakit akan bermuncul. Cukup dengan mengambil sampel darah warga lalu melakukan uji laboratorium. Ini akan lebih miris di masa mendatang bagi sungai maupun manusianya itu sendiri. “Kami melihat tidak ada upaya perbaikan kualitas lingkungan disana terutama DAS. Itu akan mengakibatkan sedimentasi yang keluar akibat dari proses perubahan pembukaan lahan untuk diambil nikel,”kata Faisal.

Melihat kondisi memprihatinkan dari waktu ke waktu, Faisal menyayangkan sikap negara yang abai. Negara tidak seharusnya mengabaikan hak masyarakat, hak hidup dan kelayakan. Negara seharusnya melakukan panangguhan terkait investasi saat ini. Sebab, sudah sangat berdampak negatif pada kondisi lingkungan dan kehidupan warga.

Baca halaman selanjutnya…

“Sudah terlalu miris investasi pertambangan, jelas-jelas merusak daya dukung dan daya tampung. Kalaupun dilakukan mitigasi tidak akan menurunkan dampak upaya pemulihan, sehingga tidak ada solusi yang bisa dilakukan kecuali penghentian perizinan saat ini dan melakukan penindakan terhadap investasi-investasi yang mengakibatkan kehancuran ekologi di Halteng,”tutupnya.

Tercemarnya Sungai Kobe

Beberapa tahun yang lalu ada media yang mengupas soal efek pertambangan di Sungai Kobe.

Media Halmaherapost.com edisi Februari 2020, memberitakan informasi warga terkait aktivitas penambangan  yang diduga dilakukan di pegunungan yang tidak jauh dari Sungai Kobe. Akibatnya, hujan deras yang terjadi pada Senin (3/2/2020) membuat limbah nikel meluap ke Sungai Kobe.

Wawancara Halmaherapost.com kepada Sekretaris Komisi III DPRD Halmahera Tengah, Munadi Kilkoda pada Kamis (6/2/2020), mengatakan sedimentasi dicurigai akibat dari penambangan yang terjadi di bagian hulu.

“Masih perlu dicek di lapangan karena kejadian ini terjadi sudah berulang kali dan selalu saja jika terjadi hujan maka resikonya warga yang tinggal di bantaran sungai kobe seperti Lukulamo menerima resiko buruk,”katanya.

Selanjutnya, mengutip dari Kalesang.id edisi September 2023, hasil wawancara dengan Anggota Forum Koordinasi Daerah Aliran Sungai Maloku Kie Raha, Muh. Arba’in menyebutkan adanya pembongkaran lahan di daerah hutan di Halteng menganggu siklus air yang sebelumnya terjaga. Ketika terjadi hujan, air yang jatuh tidak lagi terserap ke tanah justru meluap menjadi banjir.

“Air permukaan juga ikut tercemar karena limbah tambang yang mengendap dan mengeruhkan air sungai. Jadi tidak ada istilah tambang tidak mempengaruhi pada pencemaran,”cetusnya. (uty)

Exit mobile version