Tersandra dengan Cinta yang Tak Pasti?

Instagram.com/philpineli.

Sekembalinya aku ke kampung halamanku, ternyata tidak butuh waktu dan drama untuk mendapatkan restu dari kedua orang tua ku. Mereka setuju. Semunya telah ku siapkan. budget untuk perjalanan aku dan keluarga serta beberapa rekan pun telah disiapkan. Kabar bahagia telah aku sampaikan kepada Ellisa.

Hari berganti hari, semakin dekat dengan tanggal yang direncanakan. Entah apa gerangan yang terjadi, ada sesuatu hal yang beda. Pelan tapi pasti, Ellisa mulai slow respon saat dichat. Ditelpon pun jarang sekali diangkat, dengan alasan sibuk kerja hingga tidak memperhatikan handphone. Waktu terus berjalan, aku masih bersabar dengan segala tingkah lakunya.

Masih kuladeni, meski sakit hati. Ellisa benar-benar berubah. 100persen berubah dari Ellisa yang aku kenal dulu. Dia lupa dengan semua janji yang diucapkannya padaku. Dia lupa dengan semua percapakan-percakapan kita.

Nalarku masih tidak terima saat dimana Ellisa secara sepihak memutuskan hubungan. Dia dengan tegas meminta sudahi hubungan ini. Tanpa alasan ba bi bu. Dia memutuskan segala bentuk komunikasi kita berdua.

Bodohnya aku, masih sempat terpikirkan bahwa ini adalah cara Ellisa menguji keseriusanku.
"Semua perjuangan sudah ku lakukan, lantas apa lagi yang diinginkan oleh elisa, jangan-jangan Elisa hanya menguji keseriusanku,"ucapku dalam hati.

Hari-hari dilewati tanpa komunikasi dengan Ellisa. Tak berdiam diri, aku mengupayakan segala cara untuk bisa berkomunikasi lagi dengannya. aku benar-benar dilemma antara harus memaksa untuk pergi ke kampung halamannya atau stay di daerah tempat kerjaku.

Saat mengalami kebuntuhan, aku mencoba untuk refleksi perjalanan hubungan Ellisa dan aku. Harus kuakui ini bukan kali pertama Ellisa perlakukanku seperti ini. Meski, sebelum-sebelumnya sakit hati yang diberikan itu dari masalah yang berbeda.

Namun, yang ku ingat betul dari rentetan sakit hati itu adalah Ellisa adalah wanita yang tidak konsisten dan komitmen terhadap apa yang diucapkannya sendiri.

“hhuff.. capek juga ya,”ucapku pada diri sendiri.
"Kayaknya ini orang datang pas punya masalah sama mantannya, terus aku ini cuman sebatas pelampiasannya saja ya, Fajri oh Fajri mau aja kamu berada di hubungan rumit seperti ini, dibodoh-bodohi seperti ini,”ucapku lagi dengan lantang kepada diriku.

****

Luka dari Ellisa masih mengangga. Belum sepenuhnya kering.
Namun, Tuhan berencana baik kepadaku. Dengan mempertemukanku dengan teman sesame kuliah dulu, Darwis namanya. Darwis pernah menjadi lulusan terbaik di salah satu kampus ternama di daerahku. Darwis dan aku bercerita banyak hal, hingga berujung ke topik percintaan.

Aku berulang kali dibuat sadar oleh Darwis. Aku ‘tertampar’ dengan kata-katanya. Mungkin kata-kata ini bisa saja aku temukan dalam diri, namun beda saja kalau itu keluar dari mulut orang lain.
“Setiap hubungan itu sah-sah saja kalau kamu memberikan 100 persen effort untuk dia, namun sebaliknya kamu tidak menerima kembali 100persen effort dia. Maka itu hubungan yang tidak sehat karena cuman satu pihak yang berkorban dan berusaha, padahal hubungan itu kan dua orang, dua raga, dua pemikiran dijadiin satu,”kata Wis, begitu sapaan akrabku pada Darwis.

“Cukup Faj, carilah seseorang yang menghargai dan menerimamu seutuh dan apa adanya,”ucapnya.
“Carilah seseorang yang mau sama-sama berusaha, banyak kok di luar sana yang lebih baik dari dia," tegas Darwis mengakhiri percakapan kita saat itu.

*****
“Lagi dimana?, ketemuan yuk, aku kangen loh,” bunyi pesan dari Ellisa yang aku terima di sore yang tenang.
“Wis, makasih ya atas saran dan Solusi terbaik. Akan selalu aku ingat kalau masalah ini menjadi pembelajaran yang berarti, saatnya aku harus move on dan mencari yang lain, bukan memilih orang yang cintanya sudah habis dengan lelaki lain,”ucapku dalam hati segera setelah mencerna dengan baik isi pesan singkat tersebut. (*)

Selanjutnya 1 2

Komentar

Loading...