Oleh: Hasman Sangaji
_____
“Ingatlah bahwa selama kamu masih mengingatku, selama itu pula aku masih mencintai dan merindumu…” – Korban cinta tak direstui.
Malam minggu yang tenang, membawa ingatan pada sebuah hubungan percintaan dengan seseorang. Kisah romantis nan penuh kasih sayang namun harus terhenti karena terhalang restu hingga yang tersisa hanyalah kerinduaan di jiwa paling dalam.
Kala itu, aku terpaksa pindah ke suatu daerah karena tuntutan pekerjaan. Masa awal kerja, selalu serius dan fokus hanya pada kerjaan. Kalau pun main, sekedar nongkrong sebentar dengan teman-teman seprofesi habis itu lebih memilih pulang dan tidur. begitulah keseharianku hingga semuanya terasa berbeda ketika sesosok wanita cantik dengan senyum manis hadir di hidupku.
Suatu hari… aku dan Mirto, sepupuku, pergi di suatu tempat untuk mencari koneksi internet. kami kemudian nongkrong di depan Puskesmas di daerah Fujin. awalnya, tak banyak obrolan diantara kami, karena sibuk dengan handphone masing-masing.
Kesunyian itu pecah, ketika aku teringat dengan omongan salah satu anggota keluarga yang ingin mengenalkan ku dengan salah satu petugas wanita di puskesmas tersebut. Mirto yang memang kerja juga di puskesmas, sudah dipastikan mempunyai kontak orang yang dimaksud keluargaku itu.
“Eh, Mirto dengar-dengar ada petugas baru cewek di puskesmas ini ya,?” tanyaku pada Mirto sambil menyikut bahunya.
tanpa ba bi bu, alias berlama-lama, Mirto langsung menyebutkan nomornya.
“ingat tapi jangan bilang dapat nomernya dari aku,”ucap Mirto seraya menempelkan telunjuknya ke mulut sebagai isyarat harus dirahasiakan identitas dia.
Selepas itu, entah keberanian itu datangnya darimana, aku langsung memulai percakapan via SMS. Bak gayung bersambut, respon dari seberang cukup diluar ekspektasi: fast respon, tidak garing dan asyik.
Sedikit banyak informasi tentang dia, telah aku peroleh. Mulai dari nama lengkapnya, berasal dari mana, berapa lama sudah dia tinggal dan bertugas di desa Fujin, anak ke berapa dari berapa bersaudara hingga warna dan makanan kesukaannya.
berbekal informasi yang ada, dan tantangan dari sepupuku, Mirto. aku pun memberanikan diri mendekati wanita dengan nama lengkap Kinanti Kusumaputri.
Tepat hari Senin tanggal 20 Februari 2023, pukul 10.12 WIT, dengan gagah dan berani, aku menghampiri langsung Kinanti di tempat kerjanya; puskesmas di daerah Fujin.
dengan jarak sekitar 1 langkah kaki, mata kami beradu dan secara otomatis saling melempar senyum. aku yang kikuk mencoba menutupi dengan menyodorkan tangan kananku kepadanya. “Ki, tolong periksa tekanan darah saya,”ucapku singkat.
Baca halaman selanjutnya…
Tangan dingin dan lembut itu perlahan meraih tanganku sambil tangan kirinya sibuk mengambilkan sesuatu disebelahnya. Sedari tadi, belum sepatah kata pun keluar dari bibir manisnya itu. aku yang tak sabaran langsung spontan memujinya.
“Senyum kamu manis,”kataku sambil tersenyum lebar ke arahnya.
Mirto yang sedari tadi memantau dari kejauhan tidak bisa menyembunyikan senyumnya. aku yakin betul, pandangan Mirto itu sebagai penanda ingin memastikan lancarnya usaha pendekatanku ini.
“Tenang saja Mirto,di kamus hidupku tidak ada kata gagal dan mudah menyerah,,”ucapku dalam hati sambil menatap dalam wanita yang sejak awal kenalan telah mendapat tempat di hatiku.
Benar saja, berawal dari pertemuan itu, hubungan komunikasi kami berdua terus berlanjut. tak hanya SMS, lanjut di WA, telponan hingga videocall. karena kesibukan kerjaan masing-masing, kami harus mengatur jadwal untuk bisa bertemu tatap muka. Ketika cinta telah menyatuhkan kedua insan, rasanya tidak ada alasan untuk tidak membagi waktu bertemu dengan kekasih hati. Kami berdua benar-benar menikmati tiap detik waktu bersama. Semua terasa indah, banyak hal kami berbagi bersama. suka duka lalui bersama hingga rasa cinta kami semakin kuat mengakar.
Singkat cerita, Kinanti dan aku adalah dua orang yang datang dari latar belakang keluarga cukup berbeda.
Orang tuanya adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) dan saudara-saudaranya sudah mempunyai pekerjaan tetap dan bekerja di kantoran. Tampilannya yang sederhana sedari awal kita bertemu, cukup mengejutkan ku. Kinanti tidak sekalipun menyombongkan keadaan ekonomi keluarganya yang boleh dibilang berada di kalangan menengah keatas.
Lahir dan tumbuh besar dari keluarga yang berkecukupan, tidak menjadikan Kinanti sebagai sosok yang sombong dan manja. Sebaliknya, Kinanti adalah wanita pekerja keras dan cerdas.
aku ingat sekali setiap kali ngedate dan makan malam, dia tidak pernah menuntut untuk dibayarkan alias minta traktir. Kita selalu beradu siapa cepat yang bayar duluan sehabis makan. Beberapa kali, aku kalah cepat dengan Kinanti. “Aku tidak mau dibayarkan terus harus gantian dong. karena kamu tuh harus hemat dan kalau bisa nabung juga,”ucapnya seraya menatapku dalam-dalam. (*)