“Suara Korban dan Kendala Implementasi UU TPKS di Lapangan”

Namun, banyak korban enggan mengajukan restitusi akibat dari tidak tersampaikannya informasi penting mengenai maksud biaya restitusi. Korban menganggap bahwa dengan adanya ganti rugi merupakan jalan untuk meringankan atau membebaskan pelaku dari hukuman penjara (Republika.co.id).

Penegak hukum (penyidik) semestinya bertanggungjawab memberi edukasi atau menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak korban sekiranya korban belum memahaminya. Dengan begitu, korban akan tahu dan paham serta dapat menuntut haknya dengan kesadaran penuh sebagaimana yang diatur Undang-undang.

Undang-undang TPKS menuntut negara terintegrasi secara nasional sampai ke daerah. Undang-undang ini dianggap payung hukum yang spesial (lex specialist) karena mengatur hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang lain berkaitan dengan hak-hak korban. Sayangnya, 2 tahun sejak disahkan nampaknya belum membawa harapan baru bagi para korban.

Padahal secara formal, sejak diundangkannya UU TPKS sudah bisa digunakan dan diimplementasikan dalam proses penegakan hukum untuk kasus kekerasan seksual (kemenpppa.go.id). Hal ini dikarenakan belum terciptanya kesamaan perspektif secara menyeluruh berbagai elemen yang terlibat dalam penanganan kasus ini yakni pemerintah, aktivis, pendamping, maupun penegak hukum sehingga ini menjadi alasan dibutuhkannya aturan turunan implementasinya di lapangan.

Aktivis dan pendamping korban kerapkali harus melalui aksi massa melakukan demonstrasi memprotes proses penanganan baru kemudian mendapat update informasi terbaru mengenai kasus kekerasan seksual yang sedang bergulir (detikJateng.com., cermat.co.id., kalesang.co.id).

Dalam siaran pers Kementerian PPPA disebutkan terdapat 3 (tiga) Peraturan Pemerintah (PP) dan 4 (empat) Peraturan Presiden (Perpres) yang tengah diselesaikan dengan variasi tahap penyelesaiannya: ada yang tinggal menunggu penetapan Presiden, ada yang sudah selesai harmonisasi, dan ada yang masih proses harmonisasi.

Dari aturan peraturan pelaksana tesebut, baru ada 1 (satu) Perpres yang diundangkan dalam Lembaran Negara, 3 (tiga) lainnya telah masuk tahapan menunggu paraf persetujuan Menteri terkait dan sisanya masih tahap harmonisasi (kemenpppa.go.id).

Peraturan pelaksana serta aturan turunannya menjadi sangat penting guna pencegahan, penanganan serta penegakan hukum kasus kekerasan seksual. Secara terintegrasi, dari pusat hingga daerah akan menjadikan ini patokan bahwa aparat penegak hukum dalam merespon dan menangani kasus kekerasan seksual jauh dari perilaku intimidatif maupun diskriminatif terhadap korban.

Demikian halnya jaksa, dan hakim sebagai orang yang bertanggungjawab dalam memutus perkara juga diharapkan memiliki perspektif korban. Sehingga, tanpa takut tidak didengar atau diabaikan, korban akan berani memperjuangkan hak-haknya untuk mendapatkan keadilan.

Akhirnya, adalah tanggungjawab semua pihak bersama-sama mendorong Presiden, Kementerian/Lembaga terkait untuk segera menandatangani dan mengundangkan peraturan pelaksana UU TPKS dan aturan turunannya demi pencegahan, penanganan serta penegakan hukum kasus kekerasan seksual di Indonesia yang adil bagi korban.(*)

Opini ini sudah terbit dikoran Malut Post edisi. Selasa, 18 Juni 2024.

Selanjutnya 1 2

Komentar

Loading...