Malu Bagian dari Iman

Ia menganggap perbuatannya itu bukan lagi sebuah perasaan mundur yang membuat ia tercacat, ia tidak lagi memikirkan bagaimana kalau perbuatan tercela itu diketahui orang. Nabi Saw, berpesan: “Man alqa jilbabalhya’i falaa ghiibata lah” (barang siapa yang sudah melemparkan pakaian malu dari dirinya, maka tak ada lagi upatan orang baginya (segala cacat yang dihadapkan kepadanya tidak dipandang lagi sebagai sebuah upatan).
Agama Islam mengajarkan kepada umatnya “al-Hayaa’u” yang artinya malu. Malu adalah salah satu dari sekian sifat dan tingkah laku manusia. Kalau seseorang malu melakukan amal-amal shaleh (kebaikan), sementara dia tidak malu melakukan perbuatan dosa dan maksiat, maka akan jatuh harga dirinya dari posisi yang serendah-rendahnya.
Dalam Al-Qur’an surat At-Tin ayat 4-6, Allah Swt tegaskan: “Kami ciptakan manusia dengan kejadian yang sebagus-bagusnya. Lalu Kami turunkan mereka ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, maka bagi mereka pahala yang tidak putus-putusnya”. (Q.S. At-Tin 4-6).
Perbedaan antara manusia dengan hewan adalah adanya rasa malu, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki keluhuran, harkat dan martabat.
Predikat sebagai makhluk yang memiliki keluhuran, harkat dan martabat tersebut akan tetap terpelihara dan selalu disandang oleh manusia, jika rasa malu masih ada pada dirinya. Malu melakukan kejahatan, malu mendzalimi orang lain, malu mengambil sesuatu yang bukan haknya, malu melakukan korupsi uang negara yang membuat rakyat menjadi menderita.
Dalam pandangan Islam, ada tiga jenis malu yang perlu dibudayakan dalam diri setiap insan, yaitu: Pertama, malu kepada diri sendiri, kedua, malu kepada orang lain (manusia), dan yang ketiga, malu kepada Allah Swt.
Orang yang malu kepada manusia atau kepada orang lain, tapi tidak malu kepada dirinya sendiri, berarti sama dengan dia merendahkan dirinya sendiri dan tidak menghargai dirinya.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar