SIEJ Simpul Maluku Utara Gelar Diskusi Deforestasi Hutan Halmahera dan Nobar Liputan Investigasi

Nobar film investigasi pembabatan hutan di Kalimantan, Selasa (4/6/2024)

Menurutnya, kerusakan ekologi di Indonesia adalah dampak dari kebijakan pemerintah melalui undang-undang. Karena itu, perlawanan massa secara terorganisir perlu dilakukan secara berulang.

“Kita bicara soal kerusakan lingkungkan dan pemanasan global dan semua orang berfikir itu sebagai pandemi tentu semua orang akan bahu membahu dan sudah bersedia memberi tubuh untuk divaksin. Jika ini menjadi pandemi tentu akan menjadi isu sangat besar,”ujar dia.

“Hilirisasi ini adalah semua cara mengalihkan itu untuk kepentingan tertentu, karena hilirisasi itu tidak benar-benar, kalau mau harus ada mobil juga di sini. Dan yang harus kita kejar adalah kebijakan kehutanaan kita seperti UU Cipta Kerja, karena begitu banyak kelemahan dalam UU ini karena itu perlu kita perkarakan,”tambah Hidayah.

Sementara Koordinator Burung Indonesia Program Kepulauan Maluku, Benny Aladin menjelaskan, ekstraksi tambang berdampak langsung pada keanekaragaman hayati (biodiversity). Tambang menjadi momok sosial, masyarakat dan bom keanekaragaman hayati.

“Hilangnya habitat asli satwa endemik seperti burung, di Malut ada 9 jenis Kakatua yang tersebar di hutan Halmahera. Dari tahun 1994-2020 terjadi penyusutan hingga 90 persen populasinya. 10 tahun awalnya itu disebabkan oleh perburuan, tetapi berikutnya adalah akibat rusaknya habitat alami akibat peralihan fungsi lahan,”jelas Benny.

“Jadi sudah ada 2 musuh untuk satwa di sini yakni perburuan dan tambah lagi itu peralihan fungsi hutan akibat tambang,”tambang Benny.

Sementara Sekretaris Dinas Kehutanan Provinsi Malut, Achmad Zakih, menjelaskan, kebijakan pemerintah pusat yang ugal-ugalan berdampak pada pemerintah daerah.

“Kita di daerah yang mendapat tekanan apalagi sudah ada 2 PSN yang beroperasi. BPKHTL Wilayah VI Manado yang melakukan analisis citra dan laporan hasil penafsiran citra pada 2022 yaitu membanding tutupan lahan hutan dan nonhutan,”jelas Achmad.

Dia menjelaskan, Maluku Utara didominasi hutan dengan presentasi 62 persen tutupan hutan dan tersebar merata di 10 daerah kecuali Kota Ternate.

“Dari 10 kabupaten 9 daerah umumnya rasio tutupan lahan berhutan lebih tinggi sementara ternate itu sebaliknya. Angka deforestasi di Malut itu 3.257,97 hektar yang didominasi oleh pertambangan, 40,40 persen dari total deforestasi dan tertinggi di Halteng, 9,200,02 hektar,”papar dia.

Di Halteng tutupan lahan kategori pertambangan 5 ribu hektar. “Itu sudah cukup besar angkanya,”lanjutnya.

Yang perlu sama-sama kita pahami, untuk penambahan luas kawasan industri sudah merambah sampai ke Patani dengan 22 ribu hektar dalam usulan. Bahkan, pihaknya juga menemukan daerah, kenyataan di lapangan ada yang perlu sama-sama kita benahi. Apabila ada kawasan hutan sekarang sudah dicet merah dengan label milik ini dan itu.

“Ini yang kita temukan padahal itu hutan tapi sudah ditandai oleh warga,”ujar dia.

Lebih parah lagi, lanjut Achmad, praktek awal akar deforestai seperti pembalakan dan peredaran kayu illegal justru melibatkan aparat.

“Ada aturan pemerintah yang justru mengizinkan melakukan penambahan di lahan tambang kemudian juga penegakan hukum terhadap peredaran kayu illegal kami ditelepon oleh okum aparat dari Jakarta,”kata dia.

“Solusi yang dilakukan bersama adalah memberdayakan masyarakat yang menjadi pengaman dan pelindung melalui skema program ketahanan sosial,”pungkas dia. (ikh)

Selanjutnya 1 2 3 4

Komentar

Loading...