Membayangkan Orang Togutili Bahagia

Data dari BPS di atas dapat disimpulkan bahwa Maluku Utara menjadi propinsi paling bahagia, pertumbuhan ekonomi meningkat, dan angka kemiskinan juga meningkat. Data adalah data, dan kalau ini di Finlandia masuk akal, sebab tingkat kesejahteraan ekonomi warga menghasilkan tingkat kebahagiaan warga, tetapi di Maluku Utara berbeda.
Kebahagiaan Terakhir.
Dalam studi-studi etnografi wilayah propinsi Maluku Utara didiami oleh etnis dan subetnis sangat banyak (sekitar 26 etnis) yang dalam penelitian linguistik dikategorikan ke dalam rumpun bahasa Austronesia dan Non-Austronesia. Dari sejumlah 26 etnis itu, masih terdapat satu subetnis yang mendiami hutan Halmahera yang juga masih memelihara pola hidup nomaden, yaitu subetnis Togutili.
Terdapat sejumlah penjelasan berbeda-beda mengenai arti nama Togutili, namun anggota subetnis Togutili sendiri lebih senang dipanggil dengan sebutan O’Hongana Ma Nyawa yang secara harfiah diterjemahkan menjadi orang (yang mendiami) hutan. Namun karena bahasa yang digunakan adalah bahasa Tobelo lama/halus, maka mereka juga sering disebut sebagai orang Tobelo Dalam. Maksud dan tujuannya sama, untuk menunjuk komunitas adat yang masih mendiami hutan Halmahera dan masih memelihara pola hidup natural.
Anggota komunitas ini mendiami wilayah Kabupaten Halmahera Timur seperti: Miaf, Maba Tengah, Tanjung Lili, Doro Sagu, Maba Utara, Waya Wasile Utara, dan sebagian wilayah Kabupaten Halmahera Tengah seperti: Ake Jira, Weda Timur, Weda Utara, dan sebagian lagi di wilayah Oba Selatan yang masuk wilayah administrasi Kabupaten Tidore Kepulauan.
Komunitas ini adalah pelindung hutan terakhir pulau Halmahera yang terancam seiring eksploitasi tambang nikel di wilayah Halmahera Timur dan Halmahera Tengah. Terancam sebab hutan lebat yang menjadi wilayah kehidupan mereka sekarang ini menjadi wilayah operasi tambang nikel yang mengepung mereka dari arah Halmahera Timur dan Halmahera Tengah.
Situasi terjepit inilah yang membuat beberapa kali mereka langsung berhadapan dengan bulldozer tambang, atau terpaksa meminta makanan kepada penambang, dan hingga yang paling beresiko menghabisi nyawa para penambang. Kita di sini bertanya bagaimana hubungan tingkat pertumbuhan ekonomi seperti digambarkan sebelumnya itu dengan kehidupan komunitas lokal sehingga mereka harus minta makan kepada pekerja tambang?
Bagaimana mungkin selama ini mereka bisa mengusahakan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari lalu mereka menjadi peminta-minta di atas tanah mereka sendiri? Pertanyaan-pertanyaan menggugat hati nurani keindonesiaan kita yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 dengan tujuan agar seluruh warga negara bisa hidup layak dan nyaman di wilayah adat mereka?
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar